Mursyid
Sebiji buncis
meronta dan terus melompat
hingga hampir
melampaui bibir kuali
di mana ia tengah
direbus di atas api.
“Kenapa kau
lakukan ini padaku?”
Dengan sendok
kayunya,
Sang Juru Masak
mementungnya jatuh kembali.
“Jangan coba-coba
melompat keluar.
Kau kira aku
sedang menyiksamu?
Aku memberimu
cita rasa!
Sehingga kau
layak bersanding dengan rempah dan nasi
untuk menjadi
gelora kehidupan dalam diri seseorang.
Ingatlah saat-saat
kau nikmati regukan air hujan di kebun.
Saat itu ada
untuk saat ini!”
Pertama,
keindahan. Lalu kenikmatan,
kemudian
kehidupan baru yang mendidih akan muncul.
Setelah itu, Sang
Sahabat akan punya sesuatu yang enak untuk dimakan.
Pada saatnya,
buncis akan berkata pada Sang Juru Masak,
“Rebuslah aku
lagi. Hajar aku dengan sendok adukan,
karena aku tak
bisa melakukannya sendirian.
Aku seperti gajah
yang melamun menerawang
tentang taman di
Hindustan yang dulu kutinggalkan,
dan tidak
memperhatikan pawang pengendali arah jalan.
Engkaulah
pemasakku, pawangku, jalanku menuju cita rasa kesejatian.
Aku suka caramu
membuat masakan.”
“Dulu aku pun
seperti engkau,
masih hijau dari
atas tanah. Lalu aku direbus matang dalam waktu,
direbus matang
dalam jasad. Dua rebusan yang dahsyat.
Jiwa binatang
dalam diriku tumbuh kuat.
Kukendalikan dia
dengan latihan,
lalu aku direbus
lagi, dan direbus lagi.
Pada satu titik
aku melampaui itu semua,
dan menjadi
gurumu.”
Puisi al-Imam Jalaluddin
Rumi, “Chickpea to Cook,” dalam Barks, Coleman (trans.) “The Essential Rumi”.
Castle Books, 1997.
MURSYID
Mursyid
itu adalah guru ruhani yang mengetahui anatomi ruhani kita dengan jelas, dan
menghadapkan kita ke hadirat Allah Swt. Agar kita mengenal Allah dengan
sesungguhnya.
Perkataan
mursyid berasal dari bahasa arab, dari kata irsyada, yaitu memberi tunjuk-ajar.
Dalam arti kata lain, mursyid berarti, seseorang yang pakar dalam memberi
tunjuk-ajar terutamanya dalam bidang kerohanian, dalam istilah para sufi.
Mursyid
secara istilahnya (menurut kaum sufi), merupakan mereka yang bertanggungjawab
memimpin murid dan membimbing perjalanan rohani murid untuk sampai kepada Allah
s.w.t., dalam proses tarbiah yang teratur, dalam bentuk tarekat sufiyah.
Para
mursyid dianggap golongan pewaris Nabi s.a.w. dalam bidang pentarbiah umat dan
pemurnian jiwa mereka (tazkiyah an-nafs), yang mendapat izin irsyad (izin untuk
memberi bimbingan kepada manusia) dari para mursyid mereka sebelum mereka, yang
mana mereka juga mendapat izin irsyad dari mursyid sebelum mereka dan
seterusnya, sehinggalah silsilah izin irsyad tersebut sampai kepada Rasulullah
s.a.w. (tanpa terputus turutannya). Oleh itu pada kebiasaannya, ia daripada
keturunan ulamak.
Para
mursyid bertanggung jawab bagi mengajar dari sudut zahir (syariat) dan makna
(batin). Antara ciri seseorang yang digelar mursyid adalah:-
·
Mempunyai ilmu agama yang jelas tentang
perkara-perkara fardhu 'ain.
·
Dia merupakan seorang yang kamil/sempurna
dari sudut muamalah dengan Allah SWT.
·
Mendapat pengiktirafan /pengesahan dari
mursyidnya (guru) yang diiktiraf (tidak putus dalam turutan pengajaran).
·
Manhaj tarbiah yang selaras dengan panduan
Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Mursyid
mengajarkan kita bagaimana cara
mendekatkan diri kepada Allah sekaligus
memberi contoh suri teladan yang indah kepada kita bagaimana berakhlak yang
baik dan beribadah yang benar secara lahir dan batin atau secara syari’at dan
secara hakikat. Seorang guru mursyid begitu penting keberadaannya dalam sebuah Thariqah.
Yang paling utama dengan Guru Mursyid, si murid akan mendapatkan talqin
(pengajaran/pengijazahan) dzikir atau ba’iat yang tidak bisa dilakukan oleh
orang biasa. Sangat berbeda dengan ijazah Amalan Ilmu Hikmah, karena talqin itu
suatu proses dimana mursyid memasukan nur nubuwah (cahaya kenabian) ke dalam
hati murid. Sekaligus mengajarkan cara berdzikir yang benar dengan metode
Thariqah yang sesuai dengan syari’at Islam.
Seorang
Mursyid yang sejati, yang menerima perintah khusus dari Allah untuk menjadi
guru bagi para pejalan sufi, bisa tampil dengan berbagai macam wajah. Ada
kalanya ia tampak lembut dan sabar, begitu mudah dipahami. Ada kalanya pula ia
tampil dengan galak dan keras, begitu membingungkan dan sulit dipahami.
Seorang
mursyid akan mendidik murid-muridnya untuk belajar mengendalikan seluruh bala
tentara hawa nafsu dan syahwatnya, untuk mengenal segala macam aspek yang ada
dalam diri masing-masing, dan untuk memunculkan potensi dirinya yang
sesungguhnya. Potensi yang diletakkan Allah dalam qalb masing-masing manusia
ketika ia dijadikan.
Dalam
tahap pembersihan diri ini, hampir semua murid biasanya meronta. Tentu saja,
karena hawa nafsu dalam diri kita pasti meronta jika dipisahkan dari hal-hal
yang disukainya. Tapi demi memunculkan diri muridnya yang asli, maka mau tak
mau, Sang Mursyid harus melakukannya. Sang Mursyid harus memaksa murid-muridnya
untuk belajar mengendalikan seluruh bala tentara hawa nafsu dan syahwat (Rumi
menyebutnya sebagai ‘jiwa binatang’) dalam diri masing-masing.
Inilah
yang dimaksud Rumi dalam puisinya di atas, bahwa sebenarnya tugas seorang
mursyid adalah ‘merebus’ murid-muridnya di atas api, demi memunculkan cita
rasanya yang asli dalam diri masing-masing. Pada awalnya, biasanya buncis akan
meronta dan bisa jadi, ingin lari. Pada tahap ini, mau tak mau, mursyid kadang
perlu ‘mementungnya’ supaya kembali tenggelam dalam rebusan air mendidih. Tapi
sekali si murid sudah merasakan manfaat bimbingan Sang Mursyid dalam
perkembangan jiwanya, maka ia akan terus-menerus meminta untuk ‘direbus’
kembali.
Apakah
ini berarti bahwa seorang murid harus memposisikan dirinya di hadapan gurunya
seperti mayat yang dibolak-balik oleh pemandinya?
Nah,
ini juga pemahaman yang perlu dikoreksi. Ada beberapa hal yang biasanya
diajukan kepada para pejalan sufi yang ber-Thariqah maupun yang memiliki
mursyid, yang belakangan ini sering mengemuka. Berikut dua contoh representatif
ketidaktepatan penilaian yang digeneralisir tersebut.
Pertama,
“Saya bukan pengikut tasawuf formal. Saya tidak pernah bersumpah setia di bawah
telapak tangan seorang guru spiritual untuk hanya menaati dia seorang, karena
saya tidak menyukainya. Saya pikir, tidak ada pemikiran dan kesadaran sehat
yang bisa terbangun jika seseorang telah memutuskan untuk berhenti bertanya,
dan bersikap kritis.”
Kedua,
“…Sekurang-kurangnya ada tiga hal penting yang sering dipersoalkan orang
mengenai tarekat ini. Pertama, soal otoritas guru yang mutlak tertutup dan
cenderung bisa diwariskan. Kedua, soal bai’at yang menuntut kepatuhan mutlak
seorang murid kepada sang guru, seperti mayat di depan pemandinya; dan ketiga, soal keabsahan (validitas)
garis silsilah guru yang diklaim setiap tarekat sampai kepada Nabi Muhammad
Saw…Salah satu ciri utama tasawuf positif adalah rasionalitas. Karena itu,
tasawuf positif harus menolak segala bentuk kepatuhan buta kepada seorang
manusia—yang bertentangan dengan semangat Islam.”
Sekilas,
kedua penilaian ‘kritis’ atas mursyid dan thariqah tersebut terkesan
memperjuangkan keotonoman individu beserta rasionalitasnya, namun sayangnya
terlalu terburu-buru melakukan generalisasi. Terlebih, kedua penilaian ‘kritis’
tersebut lebih merefleksikan prasangka semata ketimbang pembuktian melalui
pengalaman menggeluti thariqah.
Posisi
seperti itu tak ubahnya seperti komentator sepakbola dengan pemain sepakbola.
Seorang komentator sepakbola sangat mahir dalam menganalisis kesalahan pemain,
strategi yang sedang dimainkan, kegemilangan permainan, dan lain sebagainya.
Namun yang lebih mengetahui dan merasakan realitasnya, bersusah-payah,
pontang-panting, senantiasa waspada terhadap setiap serangan lawan, hingga
akhirnya menjadi pemilik sejati pengetahuannya adalah si pemain sepakbola itu
sendiri.
Sahabat
Ali bin Abi Thalib r.a pernah berkata,
“Bila kau merasa cemas dan
gelisah akan sesuatu, masuklah ke dalamnya, sebab ketakutan menghadapinya lebih
mengganggu daripada sesuatu yang kautakuti itu sendiri.”
Namun,
di sisi lain, bisa dimaklumi juga bahwa generalisasi bermasalah—karena
ketakutan memasuki dunia thariqah secara langsung—seperti terlihat pada kedua
penilaian ‘kritis’ di atas, dilandaskan pada perkembangan mutakhir berbagai
thariqah klasik. Maka lahirlah penilaian yang digeneralisasi sebagai karakter
sejati seluruh tarekat, sehingga luput mengamati prinsip terdasar kemursyidan
dan kethariqahan.
Deviasi
adalah hal yang lazim terjadi dalam perjalanan sejarah kemanusiaan. Bahkan
berbagai kitab suci pun sering mengemukakan bagaimana di setiap masa senantiasa
terjadi deviasi ajaran agama sepeninggal sang pembawa risalah atau nubuwahnya.
Ini tak ubahnya air yang semakin keruh ketika menjauhi sumber mata airnya,
sehingga praktis di hilir hanya akan ditemui air kotor yang sudah tercampur
sampah.
Begitu
pula halnya dengan thariqah. Ketika sang muasis/pencetus atau Mursyid-Syaikh
sejatinya meninggal, maka hanya kehendak dan izin Allah Ta‘ala semata yang bisa
menjamin kemurnian dan serta keberlanjutan thariqah tersebut, yaitu, dengan
menghadirkan mursyid sejati pengganti. Apabila Allah Ta‘ala tidak menghadirkan
mursyid sejati pengganti, berarti silsilah mata rantai thariqah tersebut sudah
berakhir, bukan ajarannya.
Kemursyidan itu adalah misi hidup, dan hanya
boleh dipegang oleh mereka yang telah mencapai ma‘rifat dan misi hidupnya
adalah mursyid. Tidak semua orang yang telah ma‘rifat boleh serta merta menjadi
mursyid. Wali Quthb (pemimpin para wali di suatu zaman) seperti Ibn ‘Arabi pun
tidak menjadi mursyid thariqah.
Oleh
karena itu, sebagaimana puisi Rumi tadi, seseorang tidak bisa mengangkat
dirinya sendiri menjadi seorang guru spiritual sebelum ia sendiri sudah pernah,
dan berhasil, melalui semua ’rebusan’, dan kemudian memperoleh pengetahuan dari
Allah ta’ala bahwa misi hidupnya memang sebagai seorang mursyid.
Kemursyidan
adalah sebuah tugas langsung dari Allah ta’ala (misi hidup). Oleh karena itu,
jabatan kemursyidan pun tidak dapat diwariskan, sekalipun dengan landasan
senioritas, keluasan pengetahuan, atau bahkan garis keturunan. Lantas,
bagaimana dengan para salik yang tersisa apabila Allah Ta‘ala tidak lagi
menghadirkan mursyid sejati pengganti di sebuah thariqah? Tetaplah berpegang
teguh pada dua hal paling berharga yang ditinggalkan Rasulullah Muhammad Saw,
yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Jangan mengada-adakan mekanisme regenerasi
mursyid hanya karena ikatan emosional pada thariqah sebagai lembaga, sehingga
akhirnya menyerahkan ‘amr (urusan) kepada orang yang bukan ahlinya.
Dari
Abdullah bin Amr bin Ash ra, katanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda: “Allah
tidak menarik kembali ilmu dengan jalan mencabutnya dari qalb manusia, tetapi
dengan jalan mematikan ulama. Apabila ulama telah punah, maka masyarakat akan
mengangkat orang-orang bodoh menjadi pemimpin yang akan dijadikan tempat
bertanya. Orang-orang bodoh ini akan berfatwa tanpa ilmu; mereka itu sesat dan
menyesatkan.” (Al-Hadits)
Mursyid
sejati adalah pembimbing spiritual para salik thariqah untuk memurnikan dan
menyucikan diri, sebagaimana Rasulullah Saw pun adalah mursyid bagi para
sahabat utama yang terpanggil untuk menempuh suluk. Mursyid sejati bertugas
membantu saliknya mengenal al-haqq secara bertahap sesuai perkembangan
nafs-nya, serta mengembalikannya ke penyembahan yang murni kepada Allah Ta‘ala.
Namun,
para salik pun akan dihadapkan pada dilema akan ketidakpercayaan kepada mursyid
yang akan menjadi racun dan penyebab kegagalannya dalam bersuluk, tetapi dia
pun tidak boleh taklid buta kepada mursyidnya. Kepercayaan tidak bisa
dipaksakan. Kepercayaan harus muncul secara alami melalui proses yang alami
pula, yang muncul sendirinya dari qalb, sehingga mutlak diperlukan penguatan
dengan ‘ilm.
Ikutilah orang yang tiada
minta balasan kepadamu; dan mereka adalah muhtadun*.
(QS Yâsîn [36]: 21)
Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
‘ilm tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan fu‘ad
(limpahan karunia) semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
(QS Al-Isrâ’ [17]: 36)
*
Muhtaduun: orang yang telah menerima petunjuk Allah atas segala aspek
kehidupannya, dan semua tindakannya semata-mata hanya berdasarkan petunjuk
Allah ta’ala kepada dirinya.
Dalam
kedua penilaian ‘kritis’ terhadap thariqah dan mursyid di atas, hubungan antara
mursyid dengan saliknya dipermasalahkan secara terlampau disederhanakan, karena
dianggap menuntut ketaatan seperti mayat dengan pemandinya. Sikap seperti
sangat potensial untuk menghambat terbentuknya individu modern otonom. Padahal,
hakikatnya tidak pernah ada manusia yang otonom. Manusia hanya terbagi menjadi
dua golongan, yaitu, mereka yang diperbudak oleh Allah Ta‘ala atau diperbudak
oleh selain Allah Ta‘ala (syahwat dan hawa nafsu).
Benarkah
dalam thariqah berlangsung ketaklidan buta tak bersyarat dari seorang salik
kepada mursyidnya? Kepatuhan seperti jenazah di hadapan pemandinya?
Permasalahannya, bagaimana seorang salik bisa taklid kepada sang Mursyid,
sementara perkataan sang Mursyid sendiri ternyata seringkali salah ditafsirkan?
Sebagai
contoh, dalam sebuah thariqah, ketika seorang mursyid memerintahkan seorang
salik untuk bersiaga menghadapi sebuah serangan sebentar lagi, si salik
menafsirkan bahwa ia tengah diajari untuk bersiaga terhadap “serangan” lahiriah
seperti perkelahian, sementara sang Mursyid sebenarnya tengah mengajari
kesiagaan batiniah terhadap “serangan” masalah kehidupan.
Bagaimana
dengan berbagai pertanyaan dalam kepala kita yang muncul dan berlalu-lalang?
Setiap pertanyaan yang muncul di benak manusia itu pasti ada hak jawabannya.
Itu tak ubahnya seseorang yang tengah menunggu di ruang tamu. Kemudian dari
arah dapur tercium olehnya bau masakan. Bersabarlah, karena tepat pada saatnya
makanan tersebut akan dihidangkan ke hadapannya.
Tidak
semua pertanyaan harus terjawab saat ini juga. Bersabarlah, karena jawaban atas
berbagai pertanyaan yang muncul di benak ada hak jawabannya, hanya tinggal
masalah waktu saja. Namun, tak jarang manusia begitu arogan sehingga merasa
bahwa rasionalitasnya pasti bisa memahami segala hal saat ini juga, dan bisa
menghakimi segala perkara dengan bermodalkan ilmu yang kini dimilikinya. Seakan
rasionalitas itu tidak punya kelemahan dan batasan.
Biasanya
terhadap salik tipe fundamentalis rasional seperti ini, mursyid sejati akan
‘menghajar’ habis-habisan keliaran berpikirnya agar bisa fokus demi kebaikan
salik itu sendiri. Hal yang paling sulit adalah menjinakan keliaran pikiran
untuk fokus kepada perkara fundamental: misi hidup yang Allah Ta‘ala amanahkan
kepada dirinya. Pikiran yang liar memancar kesana-kemari itu seperti lampu
pijar 10 watt, hanya cocok dipakai untuk lampu tidur. Namun, apabila cahaya 10
watt tersebut difokuskan menjadi laser, maka besi pun dapat ditembusnya.
Munculnya
tawaran seperti tasawuf tanpa tarekat maupun tanpa guru saat ini juga
berasalan, namun bukan berarti kritiknya terhadap dunia thariqah yang
digeneralisir tersebut tepat sasaran. Semangat untuk mengedepankan akal sehat
atau rasionalitas dalam mengkaji tashawuf merupakan salah satu hal yang
penting. Karena Allah Ta‘ala mengaruniakan otak di tubuh manusia, maka cara
mensyukurinya adalah memanfaatkannya untuk berpikir maksimal di alam terendah
dari seluruh alam ciptaan-Nya, yaitu dunia. Namun, Ad-Diin (Agama) adalah
perkara yang baru akan terpahami apabila seluruh bola akal manusia—otak nalar,
fu‘ad (bentuk primitif lubb) dan lubb (akal nafs, orang yang telah memiliki
lubb disebut sebagai ulil albab)—terbuka keseluruhannya. Sayangnya, sangat
sedikit di antara manusia yang telah Allah anugerahkan kemampuan akal paripurna
lahir dan batinnya seperti ini.
Di
atas semuanya, bukanlah otak yang cerdas dan banyaknya bacaan yang dapat
menyelamatkan manusia dari berbagai jebakan syahwat dan hawa nafsu dalam
beragama, tetapi niat tulus murni mencari Allah Ta‘ala. Seorang buta huruf pun
bisa Allah rahmati menjadi ‘ulil albâb dan ‘arifin (orang yang telah mencapai
ma‘rifat), seperti Muhammad Raheem Bawa Muhaiyaddeen, maupun banyak sufi buta
huruf lainnya, semata karena adanya niat tulus murni untuk mencari dan berserah
diri kepada Allah Ta‘ala. Niat itu pulalah yang membuat Allah Ta‘ala berkenan
menganugrahkan cahaya iman ke dalam qalb.
Misalnya,
seseorang menyatakan bahwa karena dia memiliki kecenderungan saintifik, maka
dia memerlukan penjelasan ilmiah terlebih dahulu sebelum memutuskan bersuluk.
Namun, kebanyakan manusia memiliki mentalitas untuk tergesa-gesa menyimpulkan
sebelum tuntas menelaah. Kecenderungan sikap saintifik itu baik, terlebih
karena setiap manusia itu unik serta memiliki kebutuhan dan jalan masuk
berbeda-beda. Ibaratnya, ada seekor kucing (pertanyaan) yang selalu mengeong
dalam rumah (pikiran) kita, karena lapar meminta makanan (jawaban). Apabila
kucing(pertanyaan) tersebut tidak diberi makanan (jawaban), maka rumah (pikiran)
kita akan berisik oleh suara mengeongnya. Akibatnya, kita pun tidak bisa
belajar dengan tenang. Karena itu, berilah makanan (jawaban) yang tepat untuk
mengenyangkan kucing (pertanyaan) dalam rumah (pikiran) kita. Penuhilah haknya,
sehingga dia bisa diam dan kita pun bisa belajar dengan tenang. Apabila makanan
(jawaban) belum ditemukan, bersabarlah, saatnya pasti akan tiba.
Tidak
bisa dipungkiri bahwa salah satu penyebab munculnya sikap alergi thariqahadalah
ekses dari berbagai praktik yang dilakukan thariqah yang telah kehilangan
“ulama”nya (baca: mata airnya). Misalnya, dahulu kala muncul sebuah thariqah.
Lazimnya mereka melakukan riyadhah berkala secara bersama-sama. Kebetulan
mursyid thariqah tersebut selalu memelihara kucing yang sering mengeong di malam
hari karena lapar. Agar suara mengeong kucing tersebut tidak mengganggu
riyadhah, maka sang mursyid memerintahkan muridnya untuk memasukkan kucing
tersebut ke dalam sebuah ruangan, memberinya makan dan menguncinya. Hal itu
berjalan terus selama bertahun-tahun, hingga sang mursyid meninggal.
Sepeninggal
sang mursyid, para salik generasi pertama thariqah tersebut tetap memasukkan
kucing peliharaan sang mursyid ke dalam sebuah ruangan, memberinya makan dan
menguncinya agar tidak mengganggu riyadhah. Namun, para salik generasi kedua
dari thariqah tersebut—yang tidak tahu sebab akibat dari perbuatan
tersebut—mulai mengira bahwa perbuatan itu adalah sesuatu yang harus dilakukan
sebelum mereka riyadhah. Maka, ketika sampai di salik generasi ketiga,
muncullah semacam kewajiban baru, yaitu adanya sebuah keharusan sebelum
riyadhah untuk mencari kucing yang kemudian harus dimasukkan ke dalam sebuah
ruangan, kemudian memberinya makan dan menguncinya. Ketika sampai di salik
generasi keempat, muncullah buku tentang makna batin dan hakikat memasukkan
kucing ke dalam sebuah ruangan, memberinya makan dan menguncinya sebelum
melakukanriyadhah. Dan, di salik generasi kelima hingga seterusnya, perbuatan
tadi sudah menebarkan citra ketidakrasionalan dan ketidaksejalanan thariqah
tersebut dengan syariat.
Dalam
sejarah tashawuf ada juga tipe sufi yang
dinamakan sebagai Uwaysiyyah. Nama ini merujuk kepada seorang tokoh sezaman
Rasulullah Saw. yang mengetahui ihwal beliau Saw. tetapi tidak pernah bertemu
secara langsung sepanjang hidupnya. Demikian pula Rasulullah Saw., mengetahui
Uways Al-Qarni tanpa pernah bertemu dengannya. Hal itu disebabkan karena Uways
setibanya di Mekkah tidak bisa menunggu untuk bertemu dengan Rasulullah Saw
(yang ketika itu sedang pergi) sebab ia telah berjanji kepada ibunya di kota
lain untuk tidak berlama-lama meninggalkannya. Kondisi Uways berbeda dengan
Salman Al-Farisi yang Allah Ta‘ala bukakan jalan untuk bisa bertemu dengan
Rasulullah Saw., meskipun berasal jauh dari Persia, dan harus dua kali pindah
agama sebagai proses pencariannya.
Salah
satu sufi yang tergolong Uwaysiyyah adalah seorang Iran, Abu al-Hasan
Kharraqani, yang pernah menyatakan: “Aku kagum pada salik-salik yang menyatakan
bahwa mereka membutuhkan Mursyid ini dan itu. Kalian tahu bahwa aku tidak
pernah diajari manusia manapun. Allah Ta‘ala adalah pembimbingku, kendatipun
demikian, Aku menaruh respek besar pada semua Mursyid.”
Dari
pernyataan seorang Uwaysiyyah tersebut bisa terlihat bahwa yang menjadi pokok
persoalan bukanlah apakah seorang Mursyid diperlukan ataukah tidak, apakah
perlu ikut thariqah atau tidak. Tetapi, apakah kita adalah seorang pencari
Allah Ta‘ala dan berazam untuk mencari jalan kepada-Nya? Apabila ya, maka
biarlah Allah Ta‘ala yang mengalirkan dan membukakan jalan hidup kita, entah
itu ikut thariqah atau tidak, apakah akan dipertemukan dengan mursyid sejati di
zamannya ataukah Allah Ta‘ala sendiri yang akan mengajari. Bukan dengan
menyatakan terlalu dini bahwa thariqah dan Mursyid itu tidaklah diperlukan.
Ketidakberanian
mengambil resiko untuk mengarungi lautan (thariqah), terlebih terburu-buru
melontarkan pernyataan seolah heroik yang mengisyaratkan keengganan mencari
mursyid sejati zamannya, atau senantiasa memilih berjarak ala saintis serta
mengandalkan kecerdasan otak untuk bertashawuf secara wacana, bisa dipastikan mustahil
mencapai tingkatan ma‘rifat. Rumi menggambarkan hal itu sebagai berikut:
Ketika kauletakkan muatan di atas
palka kapal, usahamu itu tanpa jaminan,
Karena engkau tak tahu apakah
engkau bakal tenggelam atau selamat sampai tujuan.
Jika engkau berkata, “Aku takkan
berlayar sampai aku yakin akan nasibku,” maka engkau takkan berniaga: lantas
rahasia kedua nasib ini takkan pernah terungkap.
Saudagar yang penakut takkan meraih
untung maupun rugi; bahkan sesungguhnya ia merugi: orang harus mengambil api
agar mendapat cahaya.
Karena
seluruh kejadian berjalan di atas harapan, maka hanya Imanlah tujuan terbaik
harapan, karena dengan Iman memperoleh keselamatan.
Amati
kisah pencarian Salman Al-Farisi. Sebelum mengenal Tuhannya Muhammad Saw, dia
adalah seorang Majusi. Kesadaran yang muncul atas kejanggalan perbuatannya
sendiri untuk menjaga agar api yang disembahnya sebagai Tuhan tidak padam,
membuat Salman Al-Farisi berani mengambil resiko berpindah ke agama Kristen.
Setelah beberapa kali berpindah mengabdi pada beberapa pendeta, dia ditunjuki
ihwal keberadaan Nabi akhir zaman. Dan pertemuannya dengan Rasullah Saw,
membuat Salman Al-Farisi berani mengambil resiko kedua kalinya untuk berpindah
ke agama Islam.
Mursyid
kammil mukammil mampu mengontrol ribuan bahkan jutaan muridnya, tetapi cara
mengontrolnya bukan seorang direktur sedang mengontrol usahanya, atau seorang
presiden mengontrol bawahannya. Kontrol di alam ruhani berbeda dengan dengan
alam lahiriyah. Tetapi semua itu kesiapan yang dikontrol.
Tidak
ada jaminan, kontrol mursyid pada muridnya membuat murid langsung sadar 100%.
Kalau saja muridnya tetap saja mengikuti hawa nafsunya sendiri, bahkan
cenderung kepada ambisi duniawinya ataupun lebih mementingkan alas an nafsu
pribadinya. Cahaya ruhani mursyid sulit masuk. Sebagaimana rposulullah saw,
dahulu, toh diantara para pengikutnya
ada golongan Munafikin, itu berarti
hidayah Allah tetap urusan Allah. Para Mursyid tetap mendoakan muridnya, menyampaikan cahaya ruhaninya,
tetapi jika mbandel dan keras kepala, para murid tidak akan meraih apa-apa.
Apalagi muridnya mulai kontra dengan mursyidnya, malah semakin terlempar dalam
kegelapan.
Didalam
kitab Risalatul Murid, Sayyid Al-Imam Abdullah Al-Hadad.ra menjelaskan perihal
mencari Syaikh/Mursyid yang kamil (sempurna) atau Syaikh yang sejati
MENCARI
SYAIKH YANG SEJATI
Ketahuilah sang murid menginginkan dan mencari Syaikh yang sejati
untuk menuntut ilmu padanya. Tidak boleh mengambil sembarang orang yang dapat
diakui sebagai Syaikh, yang boleh memimpin murid-murid ke jalan Allah Ta'ala,
dan menjadi Syaikhnya sehingga ia harus menyelidiki lebih dahulu, dan ia kenal
benar-benar keahlian Syaikh tersebut dan hatinya menerima orang itu sebagai
Syaikhnya.
Demikian sebaliknya seorang Syaikh tidak boleh menerima sembarang
murid yang datang padanya minta dituntun ke jalan Allah, sebelum ia menguji
kesungguhan si murid untuk menunjukkan keinginannya yang sungguh-sungguh untuk
mendapatkan seorang pemimpin yang akan menunjukkan ke jalan Tuhannya.
Syarat-syarat ini harus berlaku bagi murid-murid yang akan menuntut ilmu kepada
Syaikh Tahkun (Syaikh yang dalam tangannya terserah segala putusan).
Murid yang menuntut ilmu pada Syaikh Tahkun ini harus menganggap
dirinya seperti mayat yang sedang dibersihkan oleh tangan-tangan yang
memandikannya, atau laksana seorang bayi yang berada dalam pemeliharaan ibunya,
syarat-syarat serupa ini tidak berlaku pada Syaikh Tabarruh (Syaikh yang biasa
dimohon keberkatan daripada-nya). Apabila seorang murid bermaksud untuk
mendapatkan keberkatan seorang Syaikh, bukan tahkimnya maka diperbolehkan
menemui sebanyak mungkin Syaikh dan menziarahi mereka adalah lebih baik dan
utama untuk memperoleh keberkatan itu. Apabila murid belum mendapatkan Syaikh,
dengan tekun dan rajin menunjukkan harapan dan keperluannya kepada Allah SWT,
dengan kebenaran yang sempurna agar Dia menunjukkan kepada seorang murid
pemimpin yang boleh memimpinnya kejalan Allah SWT. Jika ia bersungguh akan
keinginannya pasti Allah akan mengabulkan permohonannya. Sebagaimana Allah akan
mengabulkan permohonan orang-orang yang terdesak (dipaksa oleh keadaan) niscaya
Allah akan memimpin dan mendorong pada salah seorang diantara hamba-hambaNya.
Setengah murid menyangka dirinya tiada mempunyai Syaikh dan
sepanjang masa ia berusaha mencari Syaikh padahal Tuhan telah mentakdirkan
seorang Syaikh untuknya. Sedang ia tidak pernah melihat Syaikh tersebut. Syaikh
tersebut memelihara murid-murid dengan pandangan bathinnya, dan menjaga dengan
penuh perhatian sedang si murid tidak merasakan semua sama sekali. Jika murid
yang mengatakan tidak ada Syaikh pada jamannya sebenarnya ia keliru. Atau
mungkin Syaikh itu tidak benar. Dan pada hakekatnya Syaikh-Syaikh agung memang
banyak sekali, maha suci Allah yang telah menunjukkan bukti kepada para
Auliya'Nya. Seperti Dia menjadikan bukti untuk mengenal Zatnya dan Dia akan
menunjukkan seorang murid pada Auliya'Nya melainkan yang disukai dan
menyampaikan kepada Zatnya sendiri.
Ketahuilah bahwa Syaikh yang kamil ialah seorang Syaikh yang
selalu memberi faedah pada muridnya, dengan penuh kesungguhan dalam
perbuatannya dan perkataannya.
Dia memelihara muridnya sewaktu berada dihadapannya, dan juga
dimasa murid berada jauh daripadanya. Sekiranya sang murid jauh dari tempat
Syaikh berada, maka Sang Syaikh akan memelihara muridnya dengan getaran-getaran
kalbunya dalam hal apa saja yang dikerjakan si murid maupun yang
ditinggalkannya.
Adapun perkara yang sangat membahayakan sang Murid, apabila hati
si Syaikh berubah, dan tidak memandang padanya. Dalam hal ini bila dikumpulkan
seluruh Syaikh-Syaikh yang lain dari timur sampai ke barat, untuk mengubah hati
Syaikh kepada muridnya. Niscaya akan sia-sia dan tidak akan berhasil, kecuali
sang murid sendiri ha¬rus berusaha untuk mengubah hati Syaikhnya dan minta maaf
serta mendapatkan keridhoan-Nya.
BAGAIMANA
HUKUMNYA MEMILIKI SEORANG GURU MURSYID?
Ibadah
akan sia-sia dan tidak sempurna, jika tidak diiringi dengan hati yang penuh
dengan cahaya-Nya. Cahaya Allah tidak akan bisa ditangkap dengan hati yang
kotor yang penuh dengan kedengkian, kesombongan, dendam dan lain–lain. Hal ini
tidak ada cara lain kecuali harus mempelajari tasawwuf yang dibimbing langsung
oleh Guru Ruhani yang disebut Mursyid.
Dijelaskan
dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali: “Seorang murid membutuhkan
seorang mursyid , yang membimbingnya pada jalan yang lurus. Sebab jalan
keagamaan (kerohanian) terkadang begitu samara-samar, dan jalan syetan begitu
beraneka. Barang siapa tidak memiliki mursyid yang menjadi panutannya, dia akan
dibimbing syetan kea rah jalannya. Hendaklah ia berpegang teguh kepada
mursyidnya bagaikan pegangan seorang buta di pinggir sungai, dimana dia
sepenuhnya menyerahkan dirinyabkepada pembimbingnya, serta tidak berselisih
pendapat dengannya.”
Dan
seluruh ahli thariqah pun sepakat mewajibkan kepada seluruh manusia harus
mencari guru yang memberi petunjuk kepadanya untuk menghilangkan macam –macam
sifat yang bisa menjadi penghalang kepadanya dari ma’rifat ke hadrot Allah oleh
hatinya. Hal itu dilakukan agar hati menjadi sah dan khusyu, sebab menghadirkan
Allah dalam seluruh ibadah. Sedangkan dalam kenyataannya, hati tak akan bisa
khusyu kepada Allah tanpa adanya bimbingan. Jadi mencari Mursyid itu hukumnya
menjadi wajib. Sebagaimana dalam kaidah ushul fiqih: “Maa laa yatimmul waajib
illaa bihi fa huwa waajibun.” Artinya: “Tidak sempurna kewajiban kecuali dengan
suatu perkara dan perkara itu hukumnya menjadi wajib.”
Pernah
mengatakan Syekh Abdul Qodir Al-Jailani qs: “Maka wajib bagi semua manusia untuk
mencari kehidupan hati seperti untuk kehidupan keakhiratan dari ahli talqin
dzikir di dunia ini sebelum datangnya maut.“
Syekh
Abi Hasan Asy-Syadzili qs mengatakan: “Barangsiapa yang tidak ikut masuk thariqah-ku
yaitu thariqah shufiyyah (thariqah-nya orang-orang ahli tasawwuf) maka ketika
mati, orang itu membawa dosa besar karena hukumnya fardlu‘ain. Oleh karena itu,
maka wajib untuk pergi mencari seorang guru Mursyid untuk minta talqin dzikir,
dan jika sudah menemukan Mursyid yang telah masyhur dalam mengobati muridnya,
namun walaupun orang yang mau belajar itu dilarang oleh orang tuanya maka ia
wajib untuk berguru.“
Sebagian
orang–orang yang telah ma’rifat mengatakan: “Barangsiapa orang yang tidak
memiliki bagian ilmu batin ini yaitu thariqah tasawwuf maka aku takut orang itu
jika meninggal dalam keadaan su’ul khotimah yaitu akhir yang jelek karena hati
yang kotor.“
Dalam
kitab Risalatul Qudsiyyah, Syekh Wahab Sya’roni.rhm telah berkata: “Mencari
guru thariqah itu wajib bagi tiap-tiap murid walaupun telah menjadi Ulama
besar, karena sesungguhnya tiap–tiap orang yang tidak mendapat dzikir dari guru
Mursyid yang memberi petunjuk kepadanya untuk mengeluarkan sifat–sifat yang
cacat di hatinya. Maka orang itu telah ma’siyat kepada Allah dan Rosulnya, hal
itu dikarenakan tidak mendapat petunjuk jalan untuk mengobati penyakit hatinya
walaupun dengan memaksa tetap tidak akan membawa manfaat kalau tanpa Mursyid,
walaupun orang tersebut telah hafal seribu kitab.”
Dalam
Al-Qur’an surat Al-Kahfi ayat 17, Allah swt berfirman: “Barangsiapa yang ditunjuki Allah, niscaya ia mendapat petunjuk dan
siapa yang disesatkan-Nya, maka tiadalah engkau menemukan Wali Ursyid”.
Carilah Mursyid Kammil Mukammil yaitu manusia yang paripurna ma’rifatnya dan
menghantar yang lain untuk ma’rifat kepada-Nya.
Guru
Mursyid memiliki silsilah yang kuat dan sohih, dimana sanad nya (silsilah)
sampai kepada baginda Nabi Muhammad saw.
Seorang
mursyid memiliki hak prerogratif untuk mengangkat seorang murid menjadi seorang
Guru Mursyid atau wakil mursyid setelah murid tersebut lulus menurut
“pandangannya,” Semua perbuatan Guru Mursyid selalu berada dalam cahayaNya dan
Allah selalu menuntunnya. Biasanya murid yang akan dicalonkan mursyid atau
calon wakil mursyid itu telah berhasil melakukan tarbiyyah khusus. Jadi
tidaklah dibenarkan murid mengajarkan talqin atau bai’at untuk menanamkan nur
nubuwat (cahaya kenabian) kepada murid atau
jiwa orang lain kecuali telah berhasil tarbiyah (pelatihan khusus) dan idzin
dari mursyidnya.
Diterangkan
dengan jelas oleh Ulama Taswuf dalam kitab Bayanu Tashdiq:
“Tidak
boleh memberi ijazah atau talqin dzikir atau bai’at kepada murid-murid yang lain kecuali sudah
ada tarbiyyah, artinya pelantikan dan diberi izin oleh guru mursyid lebih
jelasnya Khirqoh Sufiyah dan surat tanda izin atau piagam.”
Dan
begitupun para Imam rohimahumullah mengatakan: “Sudah jelas dan tidak samar
lagi bahwasanya barangsiapa yang mulai berani memberikan ijazah talqin dzikir
Thariqah atau tarekat sedangkan dia bukan ahlinya atau tidak ada izin dari
mursyidnya, maka orang tersebut lebih banyak merusak dalam Thariqah jalan
menuju Allahnya daripada membuat kemashlahatannya dan murid tersebut terputus
dari silsilahnya kepada Nabi Muhammad saw juga otomatis telah keluar dari
martabatnya murid yang benar apalagi martabat guru ma’rifat.”
|