Barometer Keilmuan
BAROMETER KEILMUAN YANG MULAI DILUPAKAN
Seorang ulama musnid sangat menjaga sanad ilmunya yang bersambung kepada guru-guru yang berada diatasnya,
sebagaimana layaknya seseorang yang menjaga keluhuran nasab dengan leluhurnya yang mulia.
Mungkin sebagian penuntut ilmu pada masa kini punya pandangan bahwa mencari pengetahuan agama serta mendalaminya dapat melakukan secara instan. Banyak buku agama yang telah diterjemahkan, diringkas, dibahas secara tematis dan faktual. Begitu juga, dengan kecanggihan fasilitas teknologi dunia maya, untuk mengakses setiap pengetahuan agama tinggal klik. Seseorang yang ingin menambah pengetahuan agama dan mengetahui jawaban atas berbagai permasalahan agama tak perlu lagi bersusah payah mengaji kepada ulama untuk sekian lama, membuka kembali kitab-kitab turats ( khazanah klasik ) atau meminta petuah ulama.
Pandangan ini sepintas benar. Namun ada satu ungkapan yang termasyhur, Man kana kitabuhu ustadzuhu fadholaluhu aktsaru min famihi yang artinya “ siapa menjadikan kitab sebagai guru, ketersesatannya lebih banyak dari pemahamannya.” Maksudnya, meraih pengetahuan dengan sekedar mengandalkan buku bacaan, dikhawatirkan akan melibatkan seseorang kepada takwil atas teks yang tidak dimengertinya, yang lalu berimbas pada pengetahuan yang salah.
Keberadaan seorang guru yang kita kenal latar belakangnya sangat penting. Abdullah bin Umar RA, sebagaimana diriwayatkan Imam Ad Daylami, telah meriwayatkan secara marfu (sanadnya sampai kepada Nabi ) bahwasanya Rasulullah SAW berkata,”ilmu adalah din (agama) dan shalat adalah din. Maka lihatlah dari siapa kalian mengambil ilmu dan bagaimana kalian melaksanakan shalat tersebut. Sesungguhnya kalian akan ditanya pada hari kiamat.”
Sejatinya, pengetahuan lahir dari wahyu Allah Ta’ala disampaikan kepada Rasulullah SAW. Dari beliau, pengetahuan itu disampaikan kepada para sahabatnya. Dari para sahabat kepada para tabi’in. Selanjutnya, pengetahuan ini laksana tali-temali yang merangkai dari generasi ke generasi. Tidak keluar dari hakikat pengetahuan yang disampaikan.
Dimasa tadwin al-‘ilm (kodifikasi ilmu) pada masanya, para penerima pengetahuan ini berijtihad sungguh-sungguh untuk memetakan seluruh pengetahuan keagamaan. Maka hadirlah funun (bidang) kelimuan diberbagai bidang yang termaktub sebagai khazanah dimasanya dan sebagai turats pada masa setelahnya. Para penerima pengetahuan ini mengkonsentrasikan penggalian pengetahuan ini sehingga mereka dikenal dengan sebutan ulama (kata jamak namun bermakna tunggal).
Konsentrasi para ulama ini tidak terlepas dari mata rantai pengetahuan yang mereka kuat, agar tidak terlepas dari hakikat ilmu tersebut. Mereka menjadi penyambung mata rantai pengetahuan itu dari waktu kewaktu lewat kitab syarah dan hasyiyah serta para murid mereka, yang kelak menggantikan peran nasyrul ulum wal ma’arif (pentransmisian ilmu dan pengetahuan) berkaitan dengan wahyu nan luhur itu
Inilah yang disebut dan dimaksud dengan “silsilah sanad ilmu”. Ilmu agama bukan seperti pengetahuan umum, yang mengandalkan kerangka hipotesis, teori dan pengalaman empiris semata, sebagaimana dikaji dalam pandangan filsafat ilmu. Ilmu agama adalah suatu pengetahuan luhur dan sakral, yang hadir dari sisi Ilahi yang hanya dapat diperoleh teksnya, matannya, lewat jalur sanad. Seseorang yang memperoleh kelimuan agama semacam ini tidak saja mendapatkan pengetahuan tekstual, namun juga memperoleh ikatan ruhiyah dengan guru-guru yang mengajarkan pengetahuan tersebut. Inilah dasar pentingnya sanad dalam kelimuan, yang oleh kebanyakan orang tampaknya kini mulai dilupakan.
Betapa pentingnya sanad dalam ilmu, hingga Al Imam An Nawawi mengatakan, sebagaimana dikutip dari muqaddimah kitab Kifayah Al Mustafid, karya Al Musnid Syaikh Muhammad Mahfudz At Tarmusi (Tremas, Pacitan, Jawa Tengah), yang dita’liq dan ditashhih Al Musnid Syaikh Muhammad Yasin Al Fadani, “sesungguhnya sanad-sanad itu merupakan perkara yang penting yang musti dituntut, terutama oleh guru dan penuntut ilmu, untuk mengetahuinya. Ketidaktahuan akan hal itu adalah hal buruk bagi keduanya. Karena para guru manusia dalam menuntut ilmu adalah orang tuanya dalam hal agama, penyambung antara “ayah” dan “anaknya” dan penyambungnya kepada Allah Rabbul ‘alamin.” Maka bagaimana tidaklah buruk kebodohan akan nasab (nasab pengetahuan agama) dan adanya hubungan dengan mereka, sedangkan mereka diperintahkan untuk mendoakan dan memuji mereka sebagaimana seorang anak mendoakan dan memuji ayahnya tapi tidak mengenal dan dikenal ayahnya. Demikianlah nilai keluhuran sanad.
Mengingat betapa pentingnya sanad dalam ilmu, para ulama muhaqqiqin dan muhaditsin sangat menekankan keilmuan mereka dengan mengarang karya-karya yang menjelaskan sanad keilmuan yang mereka terima langsung dari guru-guru mereka, yang dikenal dengan istilah karya tsabat atau al atsbat. Istilah ini baku dikalangan ulama masyriq (Timur Tengah). Sedangkan kalangan ulama Maghribi (Maroko, Yordania,Afrika Utara dan kawasan barat Islam lainnya) menyebutkan Fahras atau faharis.
Bagi mereka, sanad tidak bedanya dengan nasab. Seorang ulama musnid sangat menjaga sanad ilmunya yang bersambung kepada guru-guru yang berada diatasnya, sebagaimana layaknya seseorang yang menjaga keluhurannasab dengan leluhurnya yang mulia.
Diantara sekian kitab turats yang mengetengahkan hal ini adalah karya Syaikh Muhammad Mahfuzh bin Abdullah at Tarmusi yang berjudul Kifayatul Mustafid dan tentunya karya-karya Musnid ad Dunya Syaikh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa Al-Fadani. Keduanya ulama Nusantara berkaliber Internasional, yang termahsyur di Kota Suci Makkah dan diakui keilmuannya dikawasan Timur Tengah.
KIFAYATUL MUSTAFID
Banyak kalangan Azhariyyun (civitas academica Al Azhar Asy syarif, Kairo , Mesir) menilai, Syaikh Dr Rif’at Fauzi Abdul Muthalib adalah salah satu ulama musnid terkenal Mesir. Ulama yang perpustakaannya selalu terbuka. Untuk para pencari ilmu ini juga telah menyebutkan silsilah sanadnya untuk kitab Al Umm dan Ar Risalah hingga langsung bersambung kepada Imam Asy Syafi’i, yang ditahqiq dan ditakhrij hadits-haditsnya oleh Syaikh Rif’at.
Syaikh Rif’at, yang memiliki perpustakaan dkawasan Hayy Sabi’, Madinah An-Nashr, Kairo, sangat mengagumi kitab karya Syaikh Mahfudz Termas yang berjudul Kifayatul Mustafid. Ia memuji Syaikh Mahfudz dan mendorong para mahasiswa Indonesia diKairo untuk mengikuti jejak keilmuan Syaikh Mahfuzh.
Syaikh Mahfuzh at Tarmusi adalah nama yang lekat bagi para penuntut ilmu, khususnya yang mendalami ilmu sanad. Jalur periwayatannya mengakar kuat dikalangan ulama-ulama Jawa abad ke-19, yang notabene adalah murid-muridnya di Makkah. Karya-karyanya pun banyak dan beragam. Diantaranya ialah kitab Manhaj Dzawin Nazhar dalam ilmu Hadits, Nayl al-Ma’mul Hasyiyah ‘ala Ghayah al Wushul dalam ilmu ushul, Mawhibah Dzil Fadhl dalam ilmu hadits, Is’af al Mathali’ bi syarh Badrah al Lami’ dalam Hadits, Ghunyah ath Thalabah bi Syarh ath Thaybah dalam ilmu Qiro’at dan masih banyak lagi.
Syaikh Mahfuzh at Tarmusi memang pantas untuk dikagumi, apalagi bagi kalangan ahli isnad, yang mengetahui dari siapa saja beliau memperoleh ilmu dan dari kitab apa saja. Tidak hanya dalam bidang hadits, untuk kitab-kitab tafsir, fiqih, qira’at, nahwu-sharaf, akhlaq-tasawuf, bahkan sampai amalan dzikir, semuanya berasal dari para ulama yang memiliki sanad yang bersambung hingga penulis kitab-kitab tersebut.
Dalam karyanya dibidang tsabat tersebut, yakni Kifayah al Mustafid, Syaikh Mahfuzh menyebutkan nama-nama kitab yang ia pelajari dari berbagai disiplin ilmu yang seluruh sanadnya bersinggah kepada penulisnya. Berikut ini cuplikan teks yang disebutkannya dalam karyanya tersebut.
Untuk pengetahuan terawal , ia menyebut ayahnya sebagai sosok utama dalam urutan sanad keilmuan. Dari ayahnya Syaikh Abdullah bin Abdul Mannan at-Tarmusi al-Jawi (1314H). Ia menuntaskan talaqqi (mengaji dengan bertatap muka) kitab Fath al Qarib Syarh al Ghayah wa Taqrib. Karya Ibn Qasim Al Ghuzzi, Al Manhaj Al Qawim, Fath al Mu’in, Syarh Minhaj, Syarh Asy Syarqawi, Tafsir Jalalain, sampai dengan pertengahan surah Yunus dan beberapa pengetahuan sastra dan ilmu alat serta lainnya.
Berikutnya Syaikh Mahfuzh menyebut nama Syaikh Muhammad Shalih bin Umar As Samarani (Semarang), yang ia mengambil darinya ijazah Tafsir Jalalain sebanyak dua kali, Syarh Asy-Syarqawi, Wasilah ath-Thullab dan Syarh Al Maradini dalam ilmu falak.
Syaikh Mahfudz kemudian menyebutkan guru-gurunya yang lain yang menjadi narasumbernya dan materi atau bidang apa saja yang ditekuninya, seperti kepada Syaikh Muhammad Al Minsyawi Al Muqri, ‘Allamah Syaikh Umar bin Barakat Asy Syami, Syaikh Musthafa bin Muhammad Al Afifi, Allamah Sayyid Ahmad Az Zawawi Al Maliki dan masih banyak lagi.
Untuk bidang tafsir, Syaikh Mahfuzh telah mengkaji beberapa kitab tafsir seperti Tafsir Al Jalalain, yang adalah karya Imam Jalaluddin al Mahalli dan Imam Jalaluddin As Suyuthi, Tafsir Al Baidhawi, Tafsir Al Baghawi, Tafsir Al Khathabi Asy Syarbini, juga Ad Durr al Mantsur, karya Imam As Suyuthi.
Semua kajian Syaikh Mahfuzh At Tarmusi terhadap kitab-kitab tersebut bersanad yang sampai kepada para penulisnya. Misalnya, sebagaimana dituliskannya, sanad Tafsir Jalalain dari permulaan sampai dengan surah Al Mu’minun diperolehnya dengan ijazah sanad dari Allamah Sayyid Abu Bakar Syatha’, dari gurunya Allamah Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, dari gurunya, Syaikh Utsman bin Hasan Ad Dimyathi, dari gurunya Syaikh Abdullah bin Hijazi Asy Syarqawi, dari gurunya Syaikh Muhammad bin Salim Al Hafani, dari gurunya Syaikh Muhammad bin Muhammad Al Budairi, dari gurunya Syaikh abu Adh Dhiya’ Ali bin Ali Asy Syibramallisi, dari gurunya Syaikh Ali Al Halabi, dari gurunya Syaikh Ali Az Zayadi, dari gurunya Sayyid Yusuf Al Armayuni, dari guru dan penulis bahagian kedua dari bahagian Tafsir Jalalain, Al Hafizh As Suyuthi, dari Jalal al Mahalli. Dari rangkaian para guru ini pula ia berolah periwayatan kitab-kitab karya As Suyuthi dan Al Mahalli.
RAGAM FAN DAN JALUR PERIWAYATAN
Kitab-kitab hadits yang pernah dipelajari Syaikh Mahfuzh meliputi al Jami’ Ash Shahih karya Imam Al Bukhari (256), yang ia simak sebanyak empat kali khatam dari Allamah Sayyid Abu Bakar Syatha’. Ia juga memiliki jalan periwayatan lain yang lebih pendek tentang kitab ini dari As Sayyid Husain bin Muhammad Al Habsyi.
Selain mempelajari Shahih Al Bukhari, ia juga mempelajari Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan At Tirmidzi, Sunan An Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, dengan bersanad dan jalur riwayat yang banyak.
Sanad hadits Syaikh Mahfuzh juga sampai kepada para ulama mujtahid madzhab yang membukukan hadits. Diantaranya Al Muwaththa’ Imam Malik riwayat Yahya bin Yahya, Musnad Imam Asy Syafi’i, Musnad Abu Hanifah, Musnad Ahmad, Mukhtashar Ibnu Abi Jamrah, Asy Syifa Qadhi Iyadh, Asy Syamail At Tarmidzi, Al Arba’in An Nawawiyah Imam An Nawawi Ad Dimasyqi, Al Jami’ Ash Shaghir Imam As Suyuthi, Al Mawahib Al Qasthalani.
Dalam kitab sejarah, kitab As Sirah al Halabiyah karya Ali al Halabi, serta As Sirah karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Mahfuzh pun memiliki sanadnya.
Sejumlah kitab Maraji’ (rujukan) dalam fan fiqih, ilmu alat, ilmu ushul dan aqidah, akhlaq dan tasawuf yang dikaji Syaikh Mahfuzh, sanadnya juga menyambung kepada para penulisnya dengan beragam jalur periwayatan serta memperoleh ijazah atasnya. Bahkan tidak hanya kitab, amalan-amalan dzikir pun sampai kepada para ulama penulisnya. Salah satunya adalah hizb (kumpulan dzikir) An Nawawi yang disusun dan diamalkan Imam An Nawawi.
Syaikh Mahfuzh At Tarmusi mencatat sanad yang ia miliki, meneladani para ulama sebelumnya, yang menuliskan dan membukukan nama-nama guru dan jalur riwayatnya.
AL ASANID AL MAKKIYYAH
Karya yang sama juga ditulis Musnid Ad Dunya Syaikh Allamah Muhammad Yasin bin Muhammad Isa al Fadani. Salah satunya Al Asanid Al Makkiyyah li Kutub al Hadits was Siyar wasy Syamail al Muhammadiyyah.
Dalam pengantarnya Al Fadani menerangkan, karyanya ini merupakan hasil studinya bersama rekan-rekan penuntut ilmu lainnya dalam mengisi hari-hari bulan Ramadhan selama 13 tahun lebih di Makkah al Mukarramah. Studi yang dilakukannya adalah mendaras kitab-kitab hadits yang tujuh, yakni Shahih Al Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan At Tirmidzi, Sunan an Nasa’i, Sunan Ibn Majah dan Muwatha’ Imam Malik juga kitab-kitab lainnya dibidang sejarah dan sirah Nabi Muhamad SAW.
Al Fadani, yang dikenal rajin menulis, diminta teman-temannya menulis sebuah risalah yang memuat sanad guru-guru Makkah dalam periwayatan Kitab-kitab tersebut selama studi itu. Ia , yang juga dikenal sebagai pemilik sanad terkemuka dan terkaya, menyebutkan sanad-sanad periwayatan kitab-kitab tersebut dengan silsilah riwayat yang banyak dan beragam (ta’adud as silsilah wa riwayah). Ada 32 kitab yang disebutkan dalam kitab ini, yang diperoleh jalur periwayatan melalui talaqqi (membaca didepan guru) dan sima’ (uraian guru).
Salah satu contohnya adalah periwayatan atas kitab Asy Syifa bi Ta’rif Huquq al Musthafa. Al Fadani menyebutkan riwayat dan sanad riwayatnya ini dari kedua gurunya, Syaikh Umar Hamdan al Mahrasi dan Syaikh Abdullah bin Muhammad Al Ghazi, keduanya dari Allamah Sayyid Husein bin Muhammad Al Habsyi, dari ayahnya Mufti Syafi’i Makkah Sayyid Muhammad bin Husein Al Habsyi, dari gurunya, Al Muhaddits Umar bin Abdul Karim Al ‘Aththar Al Makki, dari gurunya Syaikh Muhammad Thahir bin Muhammad Sa’id Sunbul Al Hanafi dari pamannya pihak ibu, Syaikh Al Muhaddits Muhammad Arif bin Muhammad Jamal Fattani, dari gurunya Syaikh AL Muqri Yahya bin Muhammad shalih Al Habbab, keduanya dari gurunya, Al Musnid Hasan bin Ali Al Ujaimi, dari dua gurunya Al Imam Ahmad bin Muhammad al Qusyasyi dan Imam Ahmad bin Muhammad al ‘Ajal Al Yamani. Al Qusyasyi menerimanya dari Syaikh Abdurrahman bin Abdul Qadir bin Fahd, yang menerimanya dari pamannya ‘Allamah Muhammad Jarullah bin Abdul Aziz bin Fahd.
(Jalur lainnnya) Imam Ahmad bin Muhammad Al Ajal Al Yamani menerimanya dari Al Musnid Yahya bin Makram Ath Thabari, dari Abu Bakar bin Al Husain Al Maraghi Al Utsmani, dari Al Musnid Ahmad bin Abu Thalib Al Hajjar, dari Ja’far bin Ali Al Hamadani, dari Abu Thahir Ahmad bin Muhammad As Salafi Al Ashfahani, dari sang pengarangnya, yaitu Al Imam Al Qadhi ‘Iyadh bin Musa Al Yahsubi As Sibthi.
Untuk mengenal lebih dekat sosok Al Fadani pada bidang sanad ini, sebetulnya dapat dilakukan dengan menilik dari sejumlah karyanya. Berdasarkan penelitian sementara, diantara seratusan lebih karyanya, 60 diantaranya berkaitan dengan isnad. Hal itu cukup mengantarkannya sebagai “Musnid Ad Dunya” (Pemilik Sanad Terbanyak diDunia).
Syaikh Yasin menulis kitab-kitab sanad yang diperincikan atas nama-nama guru dan fan (bidang) kelimuan, seperti madmahal Wujdanfi Asanid asy SyaikhUmar bin Hamdan, Ithaf al Ikhwanbi Ikhtishar Madmah al Wujdan,Tanwir al Bashirahbi Thuruq al Isnadasy Syahirah, Faydh ar Rahman fi Tarjamahwa Asanid Asy Syaikh Khalifah bin Hamd an Nabhan, Al Qawl al Jamil bi Ijazah as Sayyid Ibrahim bin Aqil, Faydh al Muhaimin Fi Tarjamah wa Asanid as Sayyid Muhsin, Al Maslak al Jaliyy fi Tarjamah wa Asanid Asy Syaikh Muhammad ‘Aliyy, Asanid Ahmad bin Hajar al Haitami al Makki,Al Irsyadat fi Asanid Kutub an Nahwiyyahwa Ash Sharfiyyah, Al ‘Ujalahfi al Ahadits al Musalsalah, Asma al Ghayah fi Asanid asySyaikh Ibrahim al Hazamifi al Qira’ah,Asanid al Kutub al Haditsiyyahas Sab’ah, Al ‘Iqd al Farid min Jawahir al Asanid, Ithaf al Bararah bi Ahadits al Kutub al Haditsiyyah al ‘Asyrah, Ithaf al Mustafid bi Nur al Asanid, Qurrah al ‘Ayn fi AsanidA’lam al Haramayn, Ithaf uli al Himamal Aliyyah bi al Kalam ‘ala Al Hadits al Musalsalbi al Awwaliyyah, Al Waraqat fi Majmu’ah al Musalsalat wa al Awa’il wa Asanid al Aliyyah, Ad Durr al Farid min Durar al Asanid, Bughyah al Murid min ‘Ulum al Asanid, Al Muqtathaf min Ithaf al Akabir bi Marwiyyat ‘abd al Qadir ash Shadiqi al Makki, Ikhtishar Riyadh Ahl al Jannahmin Atsar Ahl as Sunnah li Abd al Qadir ash Shadiqi al Makki, Ikhtishar Riyadh Ahl al Jannah min Atsar Ahl as Sunnah li ‘Abd al Baqi al Ba’li al Hanbali, Arba’un Haditsan min Arba’in Kitaban ‘an Arba’in Syaikhan, al Arba’un al Buldaniyyah Arba’un Haditsan ‘an Arba’ina Syaikhan ‘an arba’in Baladan, Arba’un Haditsan Musalsal bi an Nuhad ila al Jal bi Ijazahal as Suyuthi, Al Salasil al Mukhtarah bi Ijazah al Mu’arrikh as Sayyid Muhammad bin Muhammad Ziyarah, Fath ar Rabb al Majid Fimali asy-yakhiy min Fara’id al Ijazah wa al Asanid, Silsilah al Wushlah Majmu’ah Mukhtarah min al Ahadits al Musalsalah, al Faydh al Rahmani bi Ijazati Samahah al ‘Allamah al Kabir Muhammad Taqi al Utsmani, Nihayah al Mathlab fi’Ulum al Isnad wa al Adab, Ad Durr an Nadhir wa ar Rawdh an Nazhir fi Majmu’ al Ijazah bi Tsabat al Amir, Al Ujalah al Makkiyah wa an Nafhah al Makkiyah, Al Waraqat ‘ala al Jawahir ats Tsaminfi al Arba’in Haditsan min Ahadits Sayyid al Mursalin, Ta’liqat ‘ala Kifayah al Mustafid li Asy Syaikh Mahfuzh at Turmusi, Tahqiq al Jami’ al Hawi fi Marwiyyat al Syarqawi dan lain-lain.
Banyaknya catatan periwayatan yang sedemikian terperinci menjadikan Al Fadani seorang ulama ahli sanad yang benar-benar mendalaminya. Dengan demikian, tradisi sanad menjadi sebuah barometer orisinalitas atau keabsahan yang sangat vital, disamping menjaga tradisi para salaf dalam mencari keberkahan ilmu, memperoleh ilmu dengan cara mengambil dari guru yang memiliki sanad sampai kepenulis kitab yang dapat meminimalkan kesalahan pemahaman mengenai isi kitab tersebut. Selain itu, para pengambil ilmu darinya akan memperoleh sandaran yang kukuh dari para gurunya.
Maka benarlah apa yang dikatakan Al Imam Syafi’i, “orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar digelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu.”
Begitu pula yang dikatakan Imam Ats Tsauri, “Sanad adalah senjata orang mukmin. Maka bila engkau tak punya sanad, dengan apa engkau akan berperang.”
Imam Ibn Al Mubarak pun berkata,”Pelajarilah ilmu yang tak punya sanad bagaikan menaiki atap namun tak punya tangganya. Sungguh Allah muliakan agama ini dengan adanya sanad.”
Menjaga orisinalitas kelimuan itu sangat mutlak diperlukan, dan sanad merupakan salah satu kunci utama dalam menjaganya. Bukan tak mustahil, bahkan memang nyata, pada zaman sekarang ini banyak bermunculan orang yang mengklaim kealiman dan dijadikan rujukan fatwa oleh mereka yang awam, tapi akibat ketiadaan tali pengikatnya dengan ulama terdahulu, melahirkan pandangan-pandangan yang keliru. Persis apa yang dikatakan Imam Ibn Al Mubarak, “Sanad itu bagian dari agama. Tanpa sanad, siapa saja dapat mengatakan sekehendak dirinya.”