Mutiara Petuah
Ketika team penyusun, pertama kalinya menghadap kepada Syaikhina wa Mursyidina wa Murabbi ruuhina Al-Habib
Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya Ba’Alawy, pada hari Rabu,
02 Rajab 1425 H atau 18 Agustus 2004 M, untuk memohon petunjuk dan
pengarahan, beliau berpesan kepada kami agar dalam buku ini nantinya
dijelaskan tentang bagaimana mestinya kita mensikapi dan memposisikan
sebuah hadits yang dinilai dhla'if. Karena ada sementara orang yang begitu apriori terhadap hadits yang sudah dinilai dhla'if, sehingga bagi kelompok ini berhujjah dengan hadits dhla’if tidak bisa diterima untuk alasan apapun. Sementara ada kelompok lain yang tidak begitu saja mengesampingkan hadits dhla’if. Bagi kelompok yang terakhir ini, hadits-hadits dhla'if masih bisa digunakan untuk berhujjah, khususnya yang berkaitan dengan fadhla-ilul a'mal(keutamaan dalam beramal). Saat
itu beliau juga menyampaikan bahwa para ahli thariqah adalah kelompok
yang dinilai oleh pihak-pihak tertentu sebagai orang-orang yang senang
menggunakan hadits-hadits dhla’if dalam ajaran-ajaran mereka. Bahkan
kitab Ihya'Ulumiddin-nya Hujjatul
Islam al-Imam Al-Ghozali.ra, yang merupakan kitab rujukan utama dari
berbagai aliran thariqah yang ada, dinilai oleh pihak-pihak tersebut
sebagai kitab yang banyak menggunakan hadits-hadits dhla’if, bahkan ada
yang maudlu'. Kemudian beliau mengambil kitab Ihya' Juz I, dan kami diminta membaca pada halaman 10-13 pada bagian hamisynya, yakni Kitab Ta’rifil-Ahya’bii bi fadla-ilil-Ihya’. Ternyata
disitu, ada kisah yang cukup menarik yang dituturkan oleh Syaikh
Abdullah bin As'ad al-Yafi'i.rhm, yang diriwayatkan dengan sanad-sanad
yang shahih dari waliyullah ke waliyullah, yaitu dari Asy-Syaikhul-Kabir
Al-Quthb Syihabuddin Ahmad bin Al-Mailaq Asy-Syadzali dari
Asy-Syaikhul-Kabir Al-`Arif billah Yaqut Asy-Syadzali dari
Asy-Syaikhul-Kabir Al-'Arif billah Abil 'Abbas Al-Mursi dari Syaikusy
Syuyukh Al-'Arif billah Imam Abil Hasan Ali Asy-Syadzali. Radhliyallahumma anhum. Kisahnya
adalah bahwa Asy-Syaikhul-Imam Al-Kabir Abul Hasan 'Ali bin Harzahim
Al-Faqih yang masyhur dengan "Al-Maghrabi", dahulunya adalah orang
sangat mengingkari terhadap kitab Ihya'Ulumiddin-nya Hujjatul Islam al-Imam Al-Ghozali.ra. Saat
itu dia adalah orang yang sangat ditaati dan didengarkan kata-katanya
(oleh banyak orang). Maka dia perintahkan orang-orang untuk mencari dan
mengumpulkan naskah-naskah kitab Ihya; dia bermaksud untuk membakar
naskah-naskah tersebut di masjid Jami' pada suatu hari Jum'at. Dan
ternyata, pada malam Jum'atnya dia bermimpi seakan-akan sedang masuk ke
masjid Jami', tiba-tiba disitu dia mendapati Nabi SAW yang disertai oleh
Sahabat Abu Bakar dan Umar RA, dan Imam Ghozali.ra sedang berada di
hadapan Nabi SAW. Ketika dia (Ibnu Harzahim) datang, Imam Ghozali
berkata : "Ya Rasulullah, dialah orangnya yang memusuhiku. ]ika yang
benar adalah seperti yang dia yakini, maka aku bertaubat kepada Allah.
Dan jika yang benar adalah apa yang aku tulis, karena mengharap berkahmu
dan mengikuti sunnahmu, maka ambilkan untukku hakku dari orang yang
rnemusuhiku," Kemudian Nabi SAW meminta kitab Ihya; dan
dibukanya lembaran demi lembaran dari awal sampai akhir. Lalu berkata:
"Demi Allah, sesungguhnya ini adalah sesuatu yang bagus!". Kemudian
Sayidina Abu Bakar.ra berganti membuka dan memandangi isinya, demikian
juga Sayidina Umar.ra, yang keduanya sama-sama berkomentar bagus. Maka
Nabi SAW memerintahkan agar baju Al-Faqih 'Ali bin Harzahim dilepas,
untuk menerima cambukan dan hadd (hukuman) sebagai pembohong. Ketika
sampai cambukan yang kelima, Sahabat Abu Bakar memintakan tolong
untuknya dan berkata: "Ya Rasulullah, barangkali dia mengira telah
mengikuti sunnahmu dan temyata dia keliru," Dan Imam Ghozali berkenan
serta menerima permintaan tolongnya Sahabat Abu Bakar. Sampai disitu,
terbangunlah Ibnu Harzahim dan di punggungnya terdapat bekas cambukan
itu. Lalu dia beritahukan hal tersebut
kepada kawan-kawannya, dan menyatakan bertaubat kepada Allah atas
keingkarannya terhadap Imam Ghozali dan beristighfar kepadaNya. Selama
beberapa waktu, dia masih merasakan kesakitan dari bekas cambukan itu.
Maka dia tadlarru' (mengiba)
kepada Allah dan memohon pertolongan Rasulullah SAW, sampai kemudian
dia bermimpi lagi bertemu beliau yang datang kepadanya dan mengusapkan
tangannya yang mulia pada punggungnya. Maka sembuhlah dia atas izin
Allah SWT. Kemudian setelah itu, dia menekuni untuk muthala'ah (menelaah) kitabIhya', clan lewat itu Allah SWT memberikan futuh kepadanya serta memperoleh ma'rifatbillah dan menjadi salah seorang pembesarnya para masyaykh, menjadi orang yang ahli ilmu lahir dan ilmu bathin rahimahullah. Sayyidisy-Syaikh
Abul Hasan Ali Asy-Syadzali.ra yang hidupnya semasa dengan Ibnu
Harzahim mengatakan: "Dan pada hari wafatnya Syaikh Abul Hasan bin
Harzahimrahimahullah, bekas cambukan itu masih tampak jelas pada punggung beliau." Syaikhina Al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya juga menambahkan penjelasan bahwa semua hadits yang terdapat dalam kitab Ihya' Ullumiddin, sebelum
dimasukkan dan ditulis ke dalam kitab tersebut, Imam Al-Ghozali.ra
senantiasa terlebih dahulu konsultasi secara bathiniyah kepada
Rasulullah SAW. Dan inilah yang di kalangan shufi dan ahli thariqah
merupakan sesuatu yang dianggap lumrah dan dipercayai adanya, sementara
kalangan di luar mereka sangat sulit untuk mempercayainya, bahkan
mungkin menganggapnya hanya ilusi saja. Kemudian
beliau juga mengatakan kalau perkataan-perkataan itu diibaratkan air,
maka hadits Nabi SAW adalah ibarat Air Zam zam. Dan dhla’ifnya sebuah
hadits adalah lemah dalam hal isnad (jalur
perawian), bukan lemah dalam hal matan (isi hadits) yang juga tetap
merupakan sabda Nabi SAW. Jadi kalau diibaratkan isnad hadits itu
sebagai wadah air (gelas), sementara matan hadits itu sebagai air zam
zamnya, maka Hadits Shohih adalah seperti air zam zam yang ditaruh di gelas yang utuh dan bagus, dan Hadits dhla’if adalah air
zam zam yang berada di gelas yang retak dan kotor. Kalau seseorang tahu
ada air zam zam yang ada di gelas yang tidak bagus itu, tentu dia tidak
akan begitu saja membuangnya karena wadahnya yang jelek, tetapi dia
akan tetap meminum atau memanfaatkan air zam zam tersebut, meskipun
wadahnya akan dia buang. Seperti inilah mestinya kita mensikapi dan
memposisikan sebuah hadits yang dinilai dhla’if. Pada
kesempatan lainnya, yakni pada hari Sabtu 11 Dzul Hijjah 1425 H atau 22
Januari 2005 M, kami mendapatkan lagi keterangan dari Syaikhina tentang
beraneka macamnya aliran-aliran thariqah dan hukumnya memasuki
thariqah. Secara lengkap keterangan itu sebagai berikut ; "Ketahuilah
bahwa beragamnya dzikir dan aturan-aturannya, seperti pada
Naqsyabandiyah dengan 5000 kali sehari semalam berupa dzikir sirri,
Qodiriyah dengan 165 kali setiap ba’da shalat maktubah, Syadzaliyah
dengan 100 kali setiap pagi (ba'da Shubuh) dan sore (ba'da Maghrib),
Syathoriyah; 'Alawiyah dan yang lainnya yang lebih sedikit daripada
Syadzaliyah, semua itu adalah untuk memudahkan maksud agar bisa wushul pada Hadlratil Maqbul(Allah).
Dan juga untuk menunjukkan bahwa keberadaan Nabi SAW sebagai rahmat
(kasih sayang) bagi seluruh alam, khususnya umatnya. Bagaimana tidak?
Karena pelaksanaan dzikir adalah merupakan syarat untuk mencapai
"ihsan", sebagaimana menjalankan syari'ah juga ada syarat-syaratnya.
Dalam mengamalkan ihsan, tentu masing-masing orang berbeda-beda
kemampuannya dalam hal melakukan dzikir kepada Allah. Apabila setiap
orang diwajibkan berdzikir dengan cara Naqsyabandiyah saja atau
Qodiriyah saja misalnya, dengan jumlah hitungan yang banyak, tentu para
awam tidak memiliki kemampuan yang sama untuk itu. Oleh karena itu, agar
mereka tidak meninggalkan dzikrullah, Allah SWT memberikan kepada Nabi SAW beraneka macam dzikir dan aturannya untuk memudahkan umatnya agar bisa wushul kepadaNya. Setiap
jenis dzikir dari berbagai macam dzikir tersebut sumbernya adalah dari
satu lautan Yang Maha Tunggal, sebagaimana disebutkan Nabi SAW dalam
hadits-haditsnya yang mutawatir dengan sanadnya Ali Al'Uraidli dari
ayahnya dan dari moyangnya, Nabi SAW yang mengatakan (Hadits Qudsi) :
"Kalimat Laa ilaaha ilaallah adalah
bentengKu. Barang siapa yang memasuki bentengku, maka akan selamat dari
murka dan kemarahanKu." Dan siapakah yang tidak butuh (ingin) memasuki
benteng Allah? Setiap orang yang memiliki pengetahuan dan kesadaran,
tentu akan memasukinya. Dan benteng yang dimaksud disini adalah
keterjagaan dari segala yang dapat menghancurkan keimanan, sifat dan
perilaku yang rendah/hina, kesalah-pahamannya kebodohan dan karatnya
kelalaian. Apabila seseorang telah berhasil mendapatkan benteng dari
Allah, maka akan amanlah dia dari hal-hal tersebut. Oleh karena itu
wajiblah bagi setiap orang untuk memasuki thariqah, yakni metode
membersihkan hati untuk mendapatkan dan memasuki benteng Allah tersebut.
Dan inilah maksud yang dikehendaki dalam "ihsan". Maka
sesungguhnya dzikir itu adalah untuk membersihkan hati dan
rongga-rongganya, sedangkan air itu adalah sarana untuk membersihkan
badan. Berapa kali engkau bersihkan badanmu dengan air setiap hari? Dan
berapa kali engkau bersihkan hatimu dengan dzikrullah??? " Itulah
mutiara-mutiara petuah yang -bagi kami- merupakan suatu pengetahuan
yang sangat berharga. Namun kami agak mengalami kesulitan untuk
memasukkannya ke dalam bab-bab yang terkandung dalam buku ini, sementara
kami merasa sangat perlu untuk mengabadikan pengetahuan berharga
tersebut dan menyebar-luaskannya kepada khalayak banyak. Maka lewat
mutiara petuah tersebut kami abadikan, agar dapat bermanfaat secara
merata kepada banyak orang. Amin Ya Rabbal 'alammin. |