Mengapa Kita Ber-Thariqoh
Sebagai orang Islam, kita juga harus mengetahui serta mengerjakan syariah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji; juga mengikuti apa yang diperintahkan Allah SWT serta menghindari apa yang dilarang–Nya. Kalau kita shalat, kita harus mengikuti rukun dan syaratnya. Seperti wudhu, pakaian yang bersih, menghadap kiblat, dan melakukan semua rukun dan syarat shalat lainnya.
Kewajiban itu, kalau sudah dikerjakan, urusannya sudah selesai. Kewajiban shalatnya, misalnya, sudah ditunaikan. Namun timbul pertanyaan: Untuk apa shalat itu?
Kita mendapatkan jawabannya dalam tarekat. Sebab tarekat itu menyingkap makrifat di balik ibadah syariat. Contohnya pengetahuan di balik ibadah shalat, atau lebih luas lagi pengetahuan di balik syariat Islam.
Seharusnya, orang yang ingin bertarekat, sudah mafhum dalam hal syariat. Kalau sudah mengetahui syariat dengan baik, jalan selanjutnya baru tarekat. Dalam perjalanan waktu dia mempelajari syariat, bisa saja muncul pertanyaan: Mengapa kita harus shalat, puasa, dan lainnya? Dia ingin mengetahui apa yang ada di balik ibadah yang dia lakukan.
Saat seseorang sudah perlu kepada hakikat dan makrifat, yaitu pengetahuan di balik syariat Islam, saat itulah dia masuk tarekat. Dan kalau pengetahuan itu dianggap wajib diperolehnya, dia juga wajib memasuki tarekat. Jadi, tarekat sebenarnya bukan sekadar orang membaca wirid, tetapi yang lebih panting adalah mendapatkan pengetahuan terhadap ibadah-ibadah yang kita lakukan. Wirid dan lainnya sekadar latihan dan ketekunan, supaya lebih dekat kepada Allah, Dzat Yang Memberikan Pengetahuan Makrifat kepada manusia.
Manusia harus menyadari atau mengetahui secara mendasar bahwa dia adalah makhluk (yang diciptakan) oleh Khaliq (Pencipta, Allah). Hubungannya dengan pertanyaan: Mengapa kita melakukan shalat? Karena, selain itu sebagai perintah Allah, dalam shalat itu kita mengetahui (makrifat) bahwa diri kita makhluk. Sudah menjadi kewajiban seorang makhluk menyembah, mengabdi, dan tunduk kepada Penciptanya.
Inti shalat adalah doa. Jadi, orang yang berdoa kepada Allah, menyadari bahwa dirinya makhluk, yang lemah dan butuh pertolongan serta lindungan dari Allah, sebagai Dzat Yang Maha Memberi Pertolongan dan Perlindungan.
Hanya saja, manusia memiliki sifat lupa (ghaflah). Maka shalat dan ibadah lainnya, seperti wirid dan dzikir, serta latihan lainnya, bertujuan untuk terus mengingatkan kepada manusia akan hakikat dirinya, sebagal makhluk, yang diciptakan oleh Khaliq. Dengan begitu, semua ibadah yang dilakukan akan dilaksanakan dengan ikhlas, sebab semua lillahi ta’ala, hanya untuk Allah Ta’ala. Bukan karena alasan untuk harta benda, kekuasaan, atau kepentingan duniawi lainnya.
Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya, (Pekalongan)
Ra’is Am Idarah ‘aliyyah Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah