Definisi dan Arti Thorîqoh


Oleh: Naufal bin Muhammad Alaydrus

Secara bahasa tharîqah (tarekat) dapat berarti jalan, metode, sistem, cara, perjalanan, aturan hidup, lintasan, garis, pemimpin sebuah suku dan sarana.

Tharîqah dalam arti jalan, dapat kita temukan di dalam beberapa ayat Al-Qurân, di antaranya adalah wahyu Allâh berikut:

وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوْا عَلَى الطَّرِيْقَةِ َلأَسْقَيْنَاهُمْ مَآءً غَدَقًا

Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak). (Al-Jin, 72:16)

وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُوْنَ وَمِنَّا دُوْنَ ذلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا

Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda. (Al-Jin, 72:11)

نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَقُوْلُوْنَ إِذْ يَقُوْلُ أَمْثَلُهُمْ طَرِيْقَةً إِنْ لَبِثْتُمْ إِلاَّ يَوْمًا

Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan, ketika berkata orang yang paling lurus jalannya di antara mereka: “Kamu tidak berdiam (di dunia) melainkan hanyalah sehari saja”. (Thâhâ, 20:104)

وَلَقَدْ خَلَقْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعَ طَرَائِقَ وَمَا كُنَّا عَنِ الْخَلْقِ غَافِلِيْنَ

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan (tujuh buah langit). dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan (Kami).

(Al-Mukminûn, 23:17)

Menurut ‘Abdurrazzâq Al-Kâsyânî, tharîqah adalah jalan khusus yang ditempuh oleh para Sâlik dalam perjalanan mereka menuju Allâh, yaitu dengan melewati jenjang-jenjang tertentu dan meningkat dari satu maqâm ke maqâm yang lain.

Dalam bukunya yang berjudul Al-Kibrîtul Ahmar wal Iksîrul Akbar Habîb ‘Abdullâh bin Abû Bakar Al-‘Aidarûs radhiyallâhu ‘anhu menyebutkan:

Menurut para sufi, syariat adalah ibarat sebuah kapal, tarekat (tharîqah) adalah lautnya dan hakikat (haqîqah) adalah permata yang berada di dalamnya. Barang siapa menginginkan permata, maka dia harus naik kapal kemudian menyelam lautan, hingga memperoleh permata tersebut.

Kewajiban pertama penuntut ilmu adalah mempelajari syariat. Yang dimaksud dengan syariat adalah semua perintah Allâh dan Rasul-Nya shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wasallam, seperti wudhu, shalat, puasa, zakat, haji, mencari yang halal, meninggalkan yang haram dan berbagai perintah serta larangan lainnya. Seyogyanya seorang hamba menghiasi lahirnya dengan pakaian syariat hingga cahaya syariat tersebut bersinar dalam hatinya dan kegelapan insâniyyah sirna dari hatinya. Akhirnya dia dapat menempuh tarekat dan cahaya tersebut dapat selalu bersemayam dalam hatinya.

Tarekat (tharîqah) adalah pelaksanaan takwa dan segala sesuatu yang dapat mendekatkanmu kepada Allâh, seperti usaha untuk melewati berbagai jenjang dan maqâm. Setiap maqâm memiliki tarekat tersendiri.

Setiap guru sufi memiliki tarekat yang berbeda. Setiap guru akan menetapkan tarekatnya sesuai maqâm dan hâl-nya masing-masing. Di antara mereka ada yang tarekatnya duduk mendidik masyarakat. Ada yang tarekatnya banyak membaca wirid dan mengerjakan shalat sunah, puasa sunah dan berbagai ibadah lainnya. Ada yang tarekatnya melayani masyarakat, seperti memikul kayu bakar atau rumput serta menjualnya ke pasar dan kemudian hasilnya ia dermakan. Setiap guru memilih tarekatnya sendiri.

Adapun hakikat adalah sampainya seseorang ke tujuan dan penyaksian cahaya tajallî, sebagaimana ucapan Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wasallam kepada Hâritsah, “Setiap kebenaran ada hakikatnya, lalu apakah hakikat keimananmu?” Hâritsah menjawab, “Aku palingkan diriku dari dunia sehingga batu dan lumpur, emas maupun perak, sama saja bagiku. Di siang hari aku berpuasa, sedangkan di malam hari aku bergadang (shalat malam).”

Keteguhan Hâritsah dalam memegang agama Allâh serta menjalankan perintah-Nya adalah syariat. Kehati-hatian dan semangatnya untuk beribadah (bergadang) di malam hari, haus di siang hari dan berpaling dari segala keinginan nafsu adalah tarekat. Sedangkan tersingkapnya berbagai keadaan akhirat kepada Hâritsah adalah hakikat.

Dalam sebuah kajian di kota Solo, Jawa Tengah, Habîb ‘Umar bin Muhammad bin Sâlim bin Hafidz, telah menjelaskan sejarah terbentuknya tharîqah tersebut. Berikut saduran ceramah ilmiah beliau:

Jika berbicara tentang tharîqah berarti kita sedang membicarakan inti sari dan ruh Islam serta tujuan akhir seorang Muslim di dalam hubungannya dengan Allâh Subhânahu Wa Ta’âlâ.

Sebelum membahas lebih jauh permasalahan ini, pertama-tama kita harus mengetahui bahwa wahyu yang diturunkan Allâh kepada Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wasallam berisi hukum-hukum yang berhubungan dengan jasmani dan hukum-hukum yang berhubungan dengan permasalahan hati; bagaimana kondisi hatinya terhadap Allâh di saat dia beramal.

Hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan anggota tubuh ini selanjutnya dikenal dengan nama fiqih atau fiqhudh dhâhir. Sedangkan hukum-hukum yang berhubungan dengan sifat-sifat hati, selanjutnya disebut fiqhul Bâthin, yang oleh sebagian besar umat Islam dikenal dengan nama tasawuf.

Ayat-ayat yang membahas perbuatan anggota tubuh melahirkan beberapa madzhab dalam ilmu fiqih. Sedangkan ayat-ayat yang membahas berbagai permasalahan hati serta metode penyucian hati, melahirkan sejumlah tharîqah dalam tasawuf.

Sebenarnya dalil atau landasan pendirian madzhab dan tharîqah tersebut sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wasallam.

Pada saat itu, para sahabat menerima seruan dakwah Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wasallam dengan hati yang suci dari gejolak nafsu, bersih dari berbagai keinginan duniawi, serta kosong dari tujuan-tujuan yang tidak benar dan berbagai sifat tercela.

Setiap saat mereka berusaha memperkuat pondasi tauhid yang terdapat di dalam hatinya dengan mengerjakan berbagai ibadah, seperti shalat, doa dan berbagai amal saleh lain yang diajarkan oleh Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wasallam. Kita pun menyaksikan bagaimana mereka berijtihad di hadapan Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wasallam tentang sebuah persoalan dan Rasul membenarkan kedua ijtihad tersebut. Kita juga melihat, ada sahabat yang menjadikan puasa sunah sebagai ibadah pokoknya, ada pula yang menjadikan shalat malam sebagai ibadah pokoknya dan ada pula yang berlama-lama ketika sujud dengan memperbanyak doa yang diajarkan Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wasallam diberbagai kesempatan sebagai ibadah pokoknya. Kondisi-kondisi semacam inilah yang menjadi landasan munculnya berbagai madzhab dalam fiqih dan tharîqah dalam tasawuf.

Setelah agama Allâh (Islam) tersebar luas di bumi Allâh, sebagaimana telah dijanjikan oleh Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa shahbihi wasallam, maka tersebar pula ilmu-ilmu fiqih yang menjelaskan berbagai hukum dhâhir dan ilmu-ilmu tasawuf yang menjelaskan metode mengolah hati menjadi ihsân, yaitu senantiasa memperhatikan bagaiman hubungan hati dengan Allâh yang Maha Penyayang dan Maha Mulia. Dalam kondisi semacam ini di tengah-tengah masyarakat tumbuh berbagai madzhab dan tharîqah tersebut.

Dari pemaparan di atas dapat kita simpulkan bahwa tharîqah adalah sebuah metode atau sistem khusus yang digunakan oleh seseorang dalam menempuh jalan menuju Allâh

Sirrul asror

Rahsia Ilmu Huruf (Abjad)

Kitab Babul Haq Tanda-Tanda Sakaratul Maut

KITAB SIRRUL ASRAR

Kitab Babul Haq Nama Allah Pada Tubuh Manusia

Kitab Babul Haq Derajat Hakikat

Mengenal Diri Mengenal Allah-Al-Fatehah, Solat & Pecahan Diri

Kitab Babul Haq Dua Kalimah Syahadat

Pengertian, sejarah dan macam-macam tarekat

Kitab Babul Haq