Riwayat Hidup Al-Kindi
Dari suku Kays di Kindah (Yaman) lahirlah Abu Yusuf Ya’kub bin Ishaq
Ash-Sabbah bin Imran bin Ismai’il bin Asy’ats bin Qays Al-Kindi. Ia
lahir di Kufah tahun 185 H (801 M). Ayahnya Ishaq Ash-Shabbah, seorang
gubernur Kuffah pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid.
(Yunasril Ali, 1991: 27).
Al-Kindi hidup pada masa keemasan kekuasaan Bani Abbas. Pada masa
pemerintahan Harun Al-Rasyid yang sangat memperhatikan dan mendorong
perkembangan ilmu pengetahuan, Bagdad menjadi pusat perdagangan dan ilmu
pengetahuan. Al Rasyid mendirikan akademi atau lembaga tempat
pertemuan para ilmuwan yang disebut
Bayt Al-Hikmah (Balai Ilmu
Pengetahuan).
Al-Kindi mempelajari Al-Qur’an, membaca, menulis dan berhitung di
Basrah. Kemudian melanjutkan ke Bagdad. Ia mahir sekali dalam berbagai
macam cabang ilmu yang ada pada waktu itu seperti ilmu kedokteran,
filsafat, ilmu berhitung, logika, geometri, astronomi. Disinilah
Al-Kindi lebih luas mengenal ilmu pengetahuan, kesusastraan dan
kebudayaan Yunani dan Siria Kuno, ia juga menguasai bahasa Suryani,
kemudian menerjemahkan buku-buku ke dalam bahasa Arab. (A. Mustofa,
1997: 100).
Karya-karyanya
Karya ilmiah Al-Kindi kebanyakan berupa makalah, tetapi jumlahnya amat
banyak. Dalam bidang filsafat karangan Al-Kindi diterbitkan oleh Prof.
Abu Ridah (1950) dengan Judul
Rasail Al-Kindi Al-falasifah beisi 29 makalah dan oleh Prof. Ahmad Fuad Al Ahwani dengan judul
Fi-Al Kitab Al-Kindi Ila Mu’tashim Billah falsafah Al-ula.
Dari karangan-karangannya diketahui bahwa Al-Kindi adalah penganut
aliran Eklektisitas, dalam metafisika dan kosmofologi ia mengambil
pendapat Aristoteles, dalam psikologi ia mengambil pendapat Plato. (A.
Mustofa, 1997:102).
Pemikirannya Tentang Ketuhanan
Persoalan metafisika dibicarakan oleh Al-Kindi dalam bahasa risalahnya
antara lain risalah yang berjudul “Tentang Filsafat Pertama” dan
“Tentang Keesaan Tuhan dan Berakhirnya Benda-benda Alam.” Pembicaraan
dalam soal ini meliputi Hakekat Tuhan, Wujud Tuhan, dan Sifat-sifat
Tuhan.
Hakikat Tuhan
Tuhan menurut Al-Kindi adalah wujud yang haq (benar) yang bukan asalnya
tidak ada kemudian ada. Ia selalu mustahil tidak ada. Ia selalu ada dan
akan selalu ada. Oleh karenanya Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak
didahului wujud lain, tidak berakhir wujud-Nya dan tidak ada wujud
kecuali dengan-Nya.
Bukti-bukti Wujud Tuhan
Untuk membuktikan wujud Tuhan ia menggunakan tiga jalan, yaitu :1)
Barunya alam; 2) Keanekaragaman dalam wujud; dan 3) Kerapian alam.
Sifat-sifat Tuhan
Al-Kindi membuktikan keesaan Tuhan dengan mengatakan bahwa :”Ia bukan benda (
huyula, mddah); bukan
form (shrah); tidak mempunyai kualitas; tidak berhubungan dengan yang lain
(idlfah); misalnya sebagai ayah atau anak; tidak bisa disifati dengan apa yang ada dalam pikiran; bukan genus; bukan
differentia (fals); bukan
proprium (khssah), bukan
Accident (‘aradl);
tidak bertubuh; tidak bergerak. Karenanya , maka Tuhan adalah keesaan
belaka, tidak ada lain kecuali keesaaan itu semata. (Hanafi, 1990:
77-78)
Kesimpulannya ialah bahwa Tuhan adalah Sebab Pertama
(Firs Cause), dimana
wujud-Nya bukan karena sebab yang lain. Ia adalah Zat yang menciptakan,
tetapi bukan diciptakan, menciptakan segala sesuatu dari tiada. Ia
adalah Zat yang menyempurnakan, tetapi bukan disempurnakan.
Dalam kitab
Fi’al-Falsafah al Ula dan juga dalam kitab
Fi Wahdaniyyati L-lahi Watanahi Fijirmil-‘Alam Al-Kindi
telah membahas tentang adanya Allah, sifat dan dzat-Nya. Sebagai orang
yang dijuluki Filosof Arab pertama dalam dunia Islam Al-Kindi telah
mengemukakan sejumlah dalil tentang adanya Allah yang umumnya didasarkan
pada pengamatan empiris terhadap kenyataan-kenyataan indrawi. Dan ini
pada hakikatnya sejalan dengan tuntutan Al-Qur’an yang dalam berbagai
ayat-Nya telah menghimbau manusia untuk mengamati, memperhatikan dan
memikirkan segala kenyataan di sekelilingnya dan juga dalam dirinya.
Dalil adanya Tuhan
Diantara dalil-dalil terpenting yang dikemukakan oleh Al-Kindi tentang adanya Allah adalah sebagai berikut :
Dalil Barunya Alam
Dalil Keragaman dan Kesatuan Alam
Dalil Keteraturan Alam (Ahmad Daudy, 1986: 16).
Dalil Barunya Alam
Penggunaan konsep bahwa alam ini baru sebagai dalil adanya Allah telah
dikenal dalam kalangan Mutakallimin sebelum Al-Kindi. Perbedaannya hanya
terletak pada isi kandungan dalil tersebut tidak pada dasarnya
ejaannya. Menurut Al-Kindi bahwa segala sesuatu dalam alam ini dengan
sendirinya ada yang mendahului. Dengan demikian alam ini ada sebab bagi
adanya. Hal ini berarti alam ini ada permulaannya baik dari segi gerak
maupun dari segi zaman. Dari segi gerak, karena gerak pada wataknya
mengikut jisim karena tidak mungkin adanya gerak jika tidak ada jisim
yang bergerak. Dengan demikian gerak juga baru dan ada titik awalnya.
Sedangkan dari segi zaman, karena zaman adalah ukuran gerak dan juga
baru seperti gerak. Jadi jisim, gerak dan zaman tidak dapat saling
mendahului dalam wujud dan semuanya itu ada secara bersamaan. Ini
berarti alam ini baru dan karena itu ada penciptanya.
Dalil Keragaman dan Kesatuan
Dalil ini didasarkan pada suatu konsepsi bahwa keragaman yang terdapat
dalam kenyataan empiris tidak mungkin ada tanpa adanya kesatuan dan
kesatuan tidak mungkin ada tanpa adanya keragaman. Fenomena keterkaitan
segala kenyataan empiris dalam keragaman dan kesatuan bukanlah karena
kebetulan tetapi ada sebabnya. Dan sebab itu bukan jenis zat tersebut
karena jika demikian maka tidak akan ada kesudahannya secara secara
aktual yakni sebab-sebab yang tidak berakhir. Menurut Al-Kindi tidak
mungkin adanya sesuatu secara aktual tanpa akhir. Dengan demikian
tentunya dalam keragaman dan kesatuan ada suatu zat yang lebih tinggi
dan luhur serta lebih mendahului adanya karena sebab itu harus
mendahului musabab, dan itu adalah Allah.
Dalil pengendalian Alam
Adanya pengaturan dan pengendalian yang terdapat dalam alam ini sebagai
gejala dan bukti atas kepastian adanya pengatur dan pengendali (Tuhan).
Selain dalil-dalil di atas Al-Kindi berpendapat bahwa alam itu temporal
dan berkomposisi yang karenanya ia membutuhkan pencipta yang
menciptakannya. “Yang Esa yang Hak adalah yang pertama yang menahan
segala yang diciptakan sehingga sesuatu yang tidak mendapat pertahannan
dan kekuatan-Nya pasti akan hancur (Ibrahim, 1995: 118)
- Zat dan Sifa Tuhan
Adapun tentang hakekat Allah Al-Kindi menjelaskan bahwa Allah wujud yang hak
(Al Inaiyyah, Al Haqqah)
yang tidak ada ketiadaan selama-lamanya yang senantiasa dan akan
selalu demikian oleh wujud apapun. Wujud-Nya tak berakhir dan tak ada
wujud sesuatu tanpa wujud-Nya.
Dalam masalah sifat Allah Al-Kindi tampaknya telah memilih mazhab
Mu’tazilah yang menafsirkan tauhid sebagai kesatuan zat dan sifat. Oleh
karena itu Al-Kindi memandang ke-Esaa-an itu suatu sifat Allah yang
khas. Jadi Allah adalah Esa dalam bilangan dan Esa dalam Zat.
Untuk membuktikan wujud Tuhan, Al-Kindi berbijak adanya gerak,
keanekaan, dan keteraturan alam sebagaimana argumentasi yang sering
dikemukakan oleh filosof Yunani.
Sehubungan dengan dalil gerak, Al-Kindi mengajukan pertanyaan sekaligus
memberikan jawaban dalam ungkapan berikut :
Mungkinkah sesuatu menjadi sebab adanya sendiri, atau hal-hal itu tidak mungkin ? Jawabannya
: Yang demikian itu tidak mungkin. Dengan demikian, alam ini adalah
baru, ada permulaan dalam waktu; demikian pula ada akhirnya. Oleh
karenanya, alam ini harus ada yang menciptakannya. Dari segi filsafat,
argumen Al-Kindi itu sesuai dengan argumen Aristoteles tentang
causa prima dan penggerak pertama, penggerak yang tidak bergerak. Dari segi agama, argumen Al-Kindi itu sejalan dengan
Mutakallimin. Alam
berubah-ubah, semua yang berubah-ubah adalah baru. Karena alam adalah
baru, maka alam adalah ciptaan yang mengharuskan adanya penciptanya,
yang mencipta dari tiada
(creatio exnihilo).
Tentang dalil keanekaan alam wujud, Al-Kindi mengatakan bahwa tidak
mungkin keanekaan alam wujud ini tanpa adanya kesatuan, demikian juga
sebaliknya tidak mungkin adanya kesatuan tanpa keanekaan alam indrawi
atau yang dapat dipandang sebagai indrawi. Karena dalam wujud mempunyai
persamaan keanekaan (keberagaman) dan kesatuan (keseragaman), maka
sudah pasti hal ini terjadi karena ada sebab, bukan karena kebetulan.
Dan sebab ini bukan alam wujud yang mempunyai persamaan dan keseragaman
itu sendiri. Jika tidak demikian akan terjadi sebab akibat yang tidak
berkesudahan, dalam hal ini tidak mungkin terjadi. Oleh karenanya, sebab
itu di luar wujud itu sendiri, eksistensinya lebih tinggi, lebih mulia
dan lebih dulu adanya. Sebab ini tidak lain adalah Tuhan.
Mengenai dalil keteraturan alam sebagai wujud adanya Tuhan, Al- Kindi
mengatakan bahwa keteraturan alam indrawi tidak mungkin terjadi kecuali
dengan adanya zat yang tidak terlihat, dan zat yang tidak terlihat itu
tidak mungkin diketahui adanya kecuali dengan adanya keteraturan dan
bekas-bekas menunjukkan ada-Nya yang terdapat dalam alam ini. Argumen
demikian ini disebut argumen teleologik yang pernah digunakan
Aristoteles, tetapi juga bisa diperoleh dari ayat-ayat Al-Qur’an (Hasan,
1998: 4-5).
2.
AL-FARABI (258-339 H/872-950 M)
Riwayat Hidup Al-Farabi
Dalam sejarah, riwayah hidup Al-Farabi tidak termaktub dengan jelas,
karena Al-Farabi sendiri maupun pengikutnya tidak pernah menulis dan
merekam kehidupannya. Yang ada hanya beberapa karangan yang menerangkan
tentang sebagian biografi beliau seperti buku
Wafayat Al-A’yan karangan Ibnu Khalikan.
Beliau adalah orang Turki, lahir di desa
Wasij dekat daerah
Farab, Transoxiana pada tahun 258 H. Nama aslinya adalah Abu Nasr
Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Uzlag Al-Farabi, yang dikenal
dengan Avennoser. Bapaknya seorang perwira tentara dari Parsi sedang
ibunya berasal dari Turkistan. Bahasa yang dipakainya sehari-hari ialah
bahasa Arab, disamping itu ia tidak lupa mempelajari bahasa Turki dan
bahasa Parsi seperti juga ia belajar dan mengamalkan ajaran Islam yang
dipeluknya dengan penuh keyakinan.
Kealiman Al-Farabi dalam filsafat ditunjang oleh keahliannya dalam
bidang logika, sehingga disebut oleh para ahli sejarah filsafat dengan
sebutan
Al-Mu’allim as-Tsani (guru kedua) Artinya dialah guru
kedua sesudah Aristoteles. Keahlian Al-Farabi dalam bidang logika
melebihi Al-Kindi. Meskipun diakui bahwa Al-Kindi mempunyai filsafat
yang sudah demikian baik, tetapi karena ia kalah dalam bidang logika
maka ia dapat mengungguli Al-Farabi. Al-Farabi telah membicarakan
berbagai sistem logika sehingga mudah dipahami, iapun telah dapat
menjelaskannya dengan baik dan mensistematisirnya dengan teratur, dengan
demikian logika itu bertambah mudah dimengerti (Yunasril Ali, 1991:
40).
Pada masanya, sudah banyak kemajuan yang dibangun dari berbagai bidang,
baik dalam ilmu pengetahuan maupun kebudayaan. Dengan begitu, hal ini
berpengaruh besar terhadap pola pikir Al-Farabi, termasuk di dalam
membangun sendi-sendi pemikiran dan sistem filsafat. Aliran filsafat
yang banyak berpengaruh pada pemikiran beliau adalah Filsafat Plato,
Aristoteles dan Neo Platonisme.
Sebelum membicarakan tentang hakekat Tuhan dan sifat-sifat-Nya,
Al-Farabi terlebih dahulu membagi wujud yang ada kepada dua bagian :
- Wujud yang Mumkin atau wujud yang nyata karena lainnya
Seperti wujud cahaya yang tidak ada, kalau sekiranya tidak ada matahari.
Cahaya itu sendiri menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa tidak
berwujud. Atau dengan kata lain, cahaya adalah wujud yang mumkin. Akan
tetapi karena matahari telah wujud, maka cahaya tersebut menjadi wujud
yang nyata
(wajib) karena matahari. Wujud yang mumkin tersebut menjadi bukti adanya Sebab Yang Pertama (Tuhan).
- Wujud Yang Nyata dengan sendirinya
Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-Nya,
yaitu wujud yang apabila diperkirakan tidak ada, maka akan timbul
kemustahilan sama sekali. Kalau Ia tidah ada, maka yang lain pun tidak
akan ada sama sekali. Ia adalah Sebab Yang Pertama bagi semua wujud.
Wujud Yang Wajib tersebut dinamakan Tuhan (Allah).
Hakikat Tuhan
Allah adalah wujud yang sempurna dan yang ada tanpa suatu sebab, karena
kalau ada sebab bagi-Nya berarti ia tidak sempurna, sebab tergantung
kepadanya. Ia adalah wujud yang paling mulia dan yang paling dahulu
adanya. Karena itu Tuhan adalah Zat yang
azali (tanpa permulaan)
dan yang selalu ada. Zat-Nya itu sendiri sudah cukup menjadi sebab bagi
keabadian wujud-Nya. Wujud-Nya tidak berarti
hule (matter, benda) dan
form (shrah), yaitu
dua bagian yang terdapat pada makluk. Kalau sekiranya ia terdiri dari
dua perkara tersebut, tentunya akan terdapat sususnan (bagian-bagian)
pada zat-Nya.
Sifat-sifat Tuhan
Tuhan yang digambarkan oleh Al-Farabi adalah Tuhan yang jauh dari
makhluk-Nya dan Ia tidak dapat dicapai kecuali dengan jalan renungan dan
amalan serta pengalaman-pengalaman (pengalaman batin). Al-Farabi juga
mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui alam dan tidak memikirkannya
pula, yakni tidak menjadikan alam sebagai objek pemikiran Tuhan.
Pendapat tersebut didasarkan atas anggapan bahwa alam terlalu rendah
tingkatannya untuk dijadikan objek pemikiran Tuhan, Zat Yang Maha
Sempurna dan Maha Agung. Tuhan hanya memikirkan Zat-nya yang menjadi
sebab bagi wujud alam ini. Jadi pemikiran Tuhan terhadap alam ini tidak
langsung, melainkan cukup melalui Zat-Nya,yakni dalam kedudukan-Nya
sebagai sebab adanya alam berserta segala peristiwanya.
Apabila Tuhan lebih dari satu, maka Tuhan itu adakalanya sama-sama
sempurna wujudnya atau berbeda dalam suatu sifat-sifat tertentu. Dengan
demikian tiap-tiap Tuhan mempunyai dua macam sifat yaitu sifat umum yang
dimiliki bersama-sama oleh Tuhan-Tuhan itu dan sifat-sifat khusus yang
ada pada masing-masing Tuhan. Inilah sesuatu yang tidak mungkin.
Demikian pula karena Tuhan itu tunggal, maka Ia tidak dapat diberi
batasan
(definite), karena batasan berarti penyusunan yaitu yang memakai
speces dan
defferentia atau dengan memakai
matter dan
form, seperti halnya dengan
jauhar (benda),
sedang kesemua itu adalah mustahil bagi Tuhan. Oleh karena itu Tuhan
tidak dapat dibatasi oleh manusia yang terbatas ini dengan sempurna.
Sebagai mana suatu cahaya yang sangat kuat menyilaukan mata, sehingga
kita sulit menguraikan sifat-sifat cahaya itu yang sebenarnya.
Adapun kesulitan tentang pengetahuan kita mengenai Dia, disamping
keterbatasan yang kita miliki, dan wujud yang tidak terbatas itu, juga
karena kita telah tenggelam dalam alam kebendaan yang menutup mata hati
kita. Semakin kita menghindari benda itu semakin dekat kita kepada
pengetahuan tentang Tuhan yang lebih jelas (Mustofa, 1997 : 134-135)
Seperti Al-Kindi, Al-Farabi juga membagi wujud menjadi dua
wujud yang wajib dan yang
mumkin. Di
luar wujud itu tak ada wujud yang lain. Wujud yang wajib itu bersifat
abadi, sempurna, hakikat yang sebenarnya. Dia adalah Tuhan Allah. Wujud
yang sempurna ini haruslah hanya satu. Dari zat yang Eka inilah muncul
yang serba aneka. Wujud yang mungkin adalah wujud yang ada disebabkan
oleh lainya, tidak sempurna, beraneka dan berubah-ubah.
Sedangkan masalah hakikat Tuhan, Ia adalah wujud yang sempurna dan yang
ada tanpa sesuatu sebab bagi-Nya berarti ia tidak sempurna, sebab ia
tergantung kepada-Nya. Ia adalah wujud yang paling mulia dan yang paling
dahulu adanya. Karena itu Tuhan itu adalah zat yang ajaib (tanpa
permulaan) dan yang selalu ada. Zat-Nya itu sendiri sudah cukup menjadi
sebab bagi keabadian wujud-Nya. Wujud-Nya tidak berarti terdiri dari
hule (benda) dan
form
(bentuk) yaitu dua bagian yang terdapat pada makhluk. Kalau sekiranya
ia terdiri dari dua perkara tersebut tentunya akan terdapat susunan atau
bagian-bagian pada zat-Nya.( (Mustofa, 1997: 135).
Mengenai sifat-sifat Tuhan tidak berbeda dari zat-Nya karena Tuhan
adalah tunggal. Tuhan benar-benar akal (pikiran) murni, Karena yang
menghalang-halangi sesuatu untuk menjadi akal atau pikiran dan berfikir
adalah berada, maka sesuatu itu berada, kalau wujud sesuatu itu tidak
membedakan benda, maka sesuatu itu benar-benar akal (pikiran).
Demikianlah keadaan wujud yang pertama (Tuhan).
Jadi dari apa yang telah diterangkan di atas kita mengetahui bahwa
Al-Farabi berusaha keras untuk menunjukkan ke-Esaan Tuhan dan
ketunggala-Nya, dan bahwa sifat-sifat-Nya tidak lain adalah zat-Nya
sendiri. Dari segi ini yakni kesatuan sifat dengan zat maka Al-Farabi
sependapat dengan golongan Mu’tazilah.
- AL-GHAZALI (450-505 H/1058-1111 M)
Riwayat Hidup Al-Ghazali
Ia adalah Abu Hamid Al-Ghazali
dilahirkan pada tahun 1058
M. di kota Thus Khurasan. Suatu kota kecil di kota Iran sekarang. Kata
Al Ghazali kadang-kadang diucapkan dengan Al-Ghazzali (dengan dua Z).
Kata ini berasal dari Ghazzal yang berarti tukang pintal benang (Labib
dan Firdaus, 1995: 28), hal itu karena ayah Imam Al-Ghazali dengan
memakai satu Z maka itu merupakan nisbat kepada kata Ghazalah yang
diambil dari nama kampung kelahiran Al-Ghozali yang terakhir ini adalah
yang paling tepat.
Ayah Al-Ghozali adalah Muhammad bin Ahmad, seorang ulama yang dikenal
juga seorang sufi. Beliau meninggalkan Al-Ghazali ketika masih kecil,
akan tetapi sebelum wafat beliau telah dititipkan kepada seorang sufi
pula untuk mendapatkan bimbingan dalam hidupnya sehingga tidak heran
kalau pada akhirnya beliau sangat tertarik sekali dengan ilmu tasawuf
karena memang bekal yang beliau terima sedari kecil adalah tentang moral
dan tasawuf (Abu Ahmadi,1982: 161).
Al-Ghazali pertama-tama belajar ilmu agama di kota Thus kemudian
meneruskan ke kota
Jurjan, dan akhirnya belajar di Naisabur pada Imam Juwainy, sampai akhirnya meninggal pada tahun 478H/1085M. Kemudian berkunjung pada
Nidhzam Al-Mulk,
di kota Mua’skar dan dari padanya beliau mendapat penghormatan yang
luar biasa, kemudian beliau tinggal di kota itu selama 6 tahun lamanya.
Pada tahun 483H/1090M ia diangkat menjadi guru di sekolah nidhzamiyah
Baghdad. Selama di Baghdad selain sebagai pengajar ia sering juga
memberikan bantahan-bantahan kepada Syi’ah Isma’iliyah dan juga
golongan-golongan pemikiran yang dirasa tidak cocok dengan dirinya dan
khususnya dengan Islam.
Dan selama waktu itu pula beliau tertimpa berbagai macam keraguan
tentang pekerjaan yang ia geluti sekarang sehingga beliau mengalami
penyakit yang sulitdisembuhkan sehingga ia dapat memanfaatkan waktunya
untuk berpikir ke arah ilahiyah. Sampai akhirnya beliau meninggalkan
pekerjaan sebagai tenaga pengajar dan pergi menuju kota
Damsyik
dan di kota tersebut beliau tidak menyia-nyiakan waktu untuk merenung,
membaca dan menulis selama kurang lebih 2 tahun pada waktu itu tasawuf
sebagai jalan hidupnya.
Kemudian pindah menuju Palestina dan di sini beliau tetap merenung,
membaca dan menulis dengan mengambil tempat Baitul Maqdis sebagai tempat
dalam perenungannya. Sesudah itu tergeraklah hatinya untuk menjalankan
ibadah Haji di Baitullah El-Haram dan kemudian kembali ke negerinya dan
di sana beliau berkhalwat dengan khusu’ yang berlangsung selama 10 tahun
lamanya dan selama perpindahannya ke Damsyik beliau meneruskan beberapa
ide tentang keagamaan yang kemudian tercetus dalam sebuah kitab yang
bernama
IHYA’ ULUMUDDIN.
Karena desakan penguasa pada masanya, yaitu Muhammad
Saudara barkijaruk Al-Ghazali mau kembali mengajar sampai meninggal pada 505 H/1111 M.
Karya Al-Ghazali
Al-Ghazali adalah seorang pemikir Islam, puluhan buku telah ditulisnya
yang meliputi berbagai disiplin ilmu keislaman yang diantaranya Teologi
Islam (
Ilmu Kalam), Hukum Islam (
Fikih), Tasawuf, akhaq
dan kesopanan dengan autobiografinya kebanyakan dituangkan dalam bahasa
Arab dan yang lainnya dalam bahasa Persi.
Pengaruh Al-Ghazali di kalangan muslimin sangat besar sekali sehingga
menurut pandangan para ahli ketimuran (
Orientalis) agama Islam kebanyakan digambarkan oleh kaum muslimin banyak yang bersumber dari konsep Al-Ghazali.
Kitabnya yang terbesar yaitu
IHYA’ ULUMUDDIN yang mempunyai arti
meghidupkan ilmu-ilmu agama dan yang dikarangnya selama beberapa tahun
dalam keadaan yang berpindah-pindah dari satu tempat lainnya yang berisi
paduan yang indah antara fiqh, tasawuf, dan filsafat bukan saja
terkenal di kalangan kaum muslimin tetapi juga di dunia Barat dan dunia
di luar Islam.
Bukunya yang lain yaitu :
ALAMUNQIDZ MIN ADDHALAL (Penyelamat
dari kesesatan) berisi sejarah perkembangan alam fikirannya dan
mencerminkan sikap yang terakhir terhadap berbagai macam ilmu, serta
jalan untuk mencapai Tuhan, ada beberapa penulis modern yang mengikuti
jejek Al-Ghazali dalam menulis beberapa autobiografi.
Ibnu Al-‘Ibri dan Raymound Martin banyak mengambil fikiran-fikiran
Al-Ghazali untuk menguatkan pendiriannya. Demikian pula Pascal (Perancis
1623-1662) dan filosof Barat lainnya sebagaimana diakui oleh
Asin-Palacios, banyak persamaan dengan Al-Ghazali dalam pendiriannya,
bahwa pengetahuan agama tidak bisa diperoleh melalui pemikiran melainkan
harus berdasarkan hati dan rasa (Abu Ahmadi, 1982: 162).
Diantara buah prakarsa filosofisnya yang dikarang selama 3 tahun adalah
Maqasid al-Falasifah
(Tujuan para filosofis) dimana beliau mengatakan bahwa tujuan yang
sebenarnya adalah untuk menjelaskan ajaran-ajaran para filosof sebagai
persiapan untuk menolak pandangan mereka. Kitab ini sudah diterjemahkan
ke dalam bahasa latin yaitu; oleh Dominicus gundissalinus yang berjudul;
Logica et philosophia Al-ghazelis Arabis yang menunjukkan adanya
kepercayaan yang luar biasa kepada Al-Ghazali khususnya tentang
penganut neo Planotis sebagaimana juga Ibnu Sina dan yang lainnya.
Buah karya yang lainnya, yang tak kalah pentingnya tentang masalah
logika Aristotelian adalah
Mi’yarul Ilm (kriteria ilmu-ilmu) yang mana kitab ini dapat memberikan
segi tiga pemikiran Al-Ghazali dengan satu kita lagi yaitu ; Tahafatut al-falasifah.
Dia telah mengkafirkan para filosof Islam tentang pendapat-pendapat mereka dalam tiga hal yakni :
- Qadimnya alam
- Tuhan tidak mengetahui terhadap hal-hal yang kecil (juziyyat)
- Pengingkaran terhadap kebangikitan jasmani
Terhadap hal yang kedua ini banyak filosof yang sepakat tentang pendapat
tersebut, tetapi Al-Ghazali sangat menentang. Alasan para filosof
tentang hal ini adalah bahwa yang baru ini dengan segala peristiwanya
selalu berubah, sedangkan ilmu selalu mengikuti apa yang diketahui.
Dengan perkataan lain, perubahan perkara yang diketahui menyebabkan
perubahan ilmu. Kalau ilmu itu berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak
tahu/sebaliknya, berarti Tuhan mengalami perubahan, sedangkan perubahan
pada zat Tuhan tidak mungkin terjadi (mustahil). Terhadap alasan
tersebut, maka Al-Ghazali memberikan jawabannya.
Menurut Al-Ghazali, ilmu adalah suatu tambahan/ pertalian dengan zat,
artinya lain dari pada zat. Kalau terjadi perubahan pada tambahan
tersebut, maka zat Tuhan tetap dalam keadaannya yang biasa, sebagaimana
halnya kalau ada orang disebelah kiri kita kemudian ia berpindah
kesebelah kanan kita, maka yang berubah sebenarnya dia, bukan kita.
Kalau perubahan ini bisa menimbulkan suatu perubahan pada zat dan yang
dipegangi oleh sebagaian golongan filsuf, apakah mereka akan mengatakan
bahwa berbilangnya ilmu juga menimbulkan bilangan pada zat Tuhan?
Golongan filsuf juga mengatakan bahwa alam ini qadim dan mengakui adanya
peruabahan-peruabahan pengertian yang terjadi di dalamnya, yang berarti
mereka mengakui adanya perubahan-perubahan pada qadim. Akan tetapi,
mengapa mereka tidak membolehkan perubahan-perubahan pada zat Tuhan yang
qadim pula ?
Al-Ghazali membagi yang wujud menjadi dua yaitu qadim dan hadist. Wujud
yang hadis didefinisikan sebagai
masiwallah atau wujud selain Tuhan. Apa yang selain Allah adalah baru dan karena baru ia makhluk, diciptakan oleh yang qadim atau
al khaliq. Kritiknya terhadap 3 kelompok : kelompok
Dahriyun (materialistis), kelompok
Thabiiyun (naturalis) dan
ILahiyun.
Dalam buku
Tahafut al-falasihah Al-Ghazali membicarakan dua puluh
persoalan filsafat yang dipandang oleh Al-Ghazali perlu dikritik.
Delapan diantaranya membahas problematika Ketuhanan. Al-Ghazali
mendiskusikan masalah ini satu persatu dengan usaha untuk mengkritiknya
dari azasnya sehingga ia membuktikan bahwa para filosof tidak mampu
menetapkan adanya pencipta, maupun mendatangkan bukti atas kemustahilan
adanya dua Tuhan. (Al-Ghazali, 1947: 126). Ia menggugurkan pendapat para
filosof dengan mengatakan bahwa zat yang pertama tidak bisa dibagi-bagi
secaga
genus dan
species dan Tuhan adalah wujud sederhana
tanpa substansi. Ia mengkritik dengan keras penafsiran mereka tentang
ilmu Tuhan. Ia menganggap bahwa penafsiran itu memberikan kesan bahwa ia
lebih dekat pada tidak tahu dibandingkan tahu.
a. Dalil Wujud Allah
Sebenarnya Dalam Fitroh Manusia Dan Dalil-Dalil Al-Qur’an Sudah Cukup
Untuk Menjadi Bukti Adanya Allah. Namun, Karena Mengikuti Tradisi Para
Ahli Kalam, Al-Ghazali Mengemukakan Dalil-Dalil Akal Dalam Masalah Ini.
Ia Membedakan Allah Dengan Alam Sebagai Yang “Qadim” Dengan Yang “Baru”.
Wujud Yang Qadim Merupakan Sebab Bagi Adanya Yang Baru. Oleh Karena Itu
Wujud Alam Sebagai Sesuatu Yang Baru Merupakan Bukti Yang Nyata Bagi
Wujud Allah. Bukti Ini Dijelaskan Sebagai Berikut :
-Sesuatu Yang Baru Memerlukan Kepada Sebab Yang Menjadikannya.
- Alam Ini Baru
- Jadi, Alam Memerlukan Kepada Sebab Yang Menjadikannya.
Adapun Wujud Allah Itu Qadim, Al-Ghazali Membuktikan Bahwa Jika Ia Baru
Seperti Alam Ini, Maka Tentu Juga Memerlukan Kepada Sebab Yang Baru.
- Zat dan Sifat
Menurut Al-Ghazali, ilmu yang sangat tinggi martabatnya ialah mengenal Allah
(Ma’rifatul’l-lah) dengan mengetahui zat, sifat dan
af’alNya (perbuatan).
Oleh karen zat Allah tidak dapat terjangkau oleh pengetahuan manusia,
maka mereka tidak diwajibkan mengetahuinya. Dalam hal ini, mereka cukup
mengetahui sifat-sifat dan perbuatan-Nya saja. Nabi bersabda
(terjemahan) :
“Berfikirlah tentang mahluk ciptaan Allah dan janganlah kamu berfikir tentang zat-Nya, sehingga kamu tidak binasa”
Allah adalah wujud yang maha sempurna yang tidak ada sebab bagi
wujud-nya. Ia adalah sebab bagi wujud yang selain-Nya. Wujud-Nya dapat
diketahui dengan akal pikiran, karena Ia adalah sebab. Rentetan semua
sebab itu tidak mungkin berlalu terus-menerus tanpa akhirnya. Oleh
karena itu, rentetan sebab harus berakhir pada “Sebab Pertama”, yakni
Allah.
- Af’alu’l-Lah
Maksudnya adalah perbuatan Allah yang berwujud penciptaan segala sesuatu di alam ini. Karena itu Allah disebut
al-khaliq atau
ash-Shani’ (Pencipta, Pembuat).
4. IBNU THUFAIL (Awal Abad VI-580 H/ 1110-1184)
Riwayat Hidup Ibnu Thufail
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Abdul Malik bin Muhammad
bin Thufail Al-Qisiy. Ia lahir di lembah Asy suatu lembah yang subur
yang terletak enam belas kilometer dari Granada pada tahun 506 H atau
1110 M. (Abdul Halim Mahmud, hal. 9). Ia sangat terkenal dalam ilmu
kedokteran, ilmu falak dan falsafah. Ia juga seorang dokter pribadi Abu
Ya’kub Yusuf Al-Mansur yaitu Khalifah kedua dari dinasti Muwahiddin.
Para penulis sejarah telah menyebut adanya beberapa kitab dan risalah
yang ditulis oleh Ibnu Thufail, tatapi sayang hasil karyanya tidak
diketemukan lagi, kecualai buku roman filsafat yang berjudul “Hayy Ibnu
Yaqzhan fi Asrar al Hikmatil Masraqiyyah” (sihidup anak sijago tentang
rahasia filsafat timur).
Keahliannya di bidang medis telah dipraktekkan di Granada lalu
ketenarannya sebagai seorang dokter itu membawa namanya lebih dikenal
didalam pemikiran, sehingga ia diambil oleh gubernur Granada menjadi
sekreatrisnya. (Yunasril Ali).
Dua orang muridnya (Al Bitruji dan Ibnu Rusdy) percaya bahwa dia memilki
gagasan-gagasan astronomi asli
epicycles dan
eccentric circle yang dalam kata pengantar dari karyanya
Al-Haiah dikemukakannya
sebagai sumbangan dari gurunya Ibnu Thufail. (Encyclopedia of Islam III
jilid II,: 42). Pada tahun 582 H (1185 M) Ibnu Thafail meninggal dunia
di Maroko dan Abu Yusuf ikut menghadiri pemakaman jenasahnya.
Begitu sekilas dan sejarah seorang filosof Islam yang terbesar yang
telah memberikan nuansa dalam kajian-kajian filsafat yang terus akan
dikenang sepanjang masa.
Menurut Ibnu Thufail Tuhan adalah penyebab awal dari segala penyebab. Ia
Maha Kuasa, Maha Mengetahui terhadap perbuatan-Nya, serta Maha Bebas
dalam segala kehendak-Nya. Tuhan adalah pemberi wujud kepada semua
mahluk. Tetapi Ia tidak mungkin dirasai dan dikhayalkan, karena khayalan
hanya mungkin mengenai hal-hal indrawi. Ia adalah keseragaman dan
keanekaragaman dan kekuatan yang tersembunyi dan yang ganjil, suci dan
tidak trelihat. Dialah “Sebab Pertama” atom “Pencipta Dunia” (Ahmad
Hanafi: 162).
Menurut Ibnu Thufail, alam dan Tuhan sama-sama kekal. Tetapi Ia juga
membedakan kekekalan dalam essensi dan kekekalan dalam waktu. Ibnu
Thufail percaya bahwa Tuhan ada sebelum adanya alam dalam hal essensi,
tetapi tidak dalam hal waktu. Alam bukanlah sesuatu yang lain dari
Tuhan, dan sebagai penampakan diri dari essensi Tuhan. Karena itu alam
tidak akan hancur pada hari penentuan. Kehancuran alam berupa
keberalihan kepada pihak lain, dan bukan merupakan kehancuran
sepenuhnya. Alam terus berlangsung dalam suatu bentuk lain. Alam juga
bersifat qadim, karena tidak mungkin alam diciptakan dari sesuatu yang
tidak ada. (M.M. Syarif, ed. 1985:183).
Ibnu Thufail berpendapat bahwa dunia dan Tuhan sama-sama kekal. Dia
mempertahankan pendapat mistisnya bahwa dunia itu bukanlah sesuatu yang
lain dari Tuhan. Dan mengenai esensi Tuhan yang ditafsirkan sebagai
cahaya, yang sifat esensinya merupakan penerangan dan pengejawantahan,
sebagaimana dipercaya oleh Al-Ghazali, Ibnu Thufail memandang dunia ini
sebagai pengejawantahan dari esensi Tuhan sendiri dan bayangan
cahaya-Nya sendiri yang tidak berawal dan tidak berakhir. Dunia tidak
akan hancur sebagaimana yang ada pada kepercayaan akan Hari Penentu.
Kehancuran berupa keberalihannya menjadi bentuk lain bukannya merupakan
suatu kehancuran sepenuhnya. Dunia mesti berlangsung dari satu bentuk
kebentuk lain, sebab kehancurannya tidak sesuai dengan keberadaan mistis
yang tinggi, yaitu bahwa sifat esensi Tuhan merupakan peringatan dan
pengejawantahan kekal. Ibnu Thufail membuat perbedaan antara kekekalan
dalam waktu dan bahwa Tuhan ada sebelum adanya dunia dalam hal esensi
tapi tidak dalam hal waktu.
5. IBNU RUSYD (520-595 H/ 1126-1198 M)
Riwayat Hidup Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd dilahirkan pada tahun 1126 M dan wafat pada tahun 1198 M. Ia
filosof Cordova, karena ia dilahirkan dan dibesarkan di kota itu.
Keluarganya terkenal alim dalam ilmu fiqh. Ayah dan kakeknya pernah
menjadi kepala Pengadilan di Andalusia. Latar belakang keagamaan inilah
yang memberinya kesempatan untuk meraih kedudukan yang tinggi dalam
studi keislaman.
Kemasyurannya dalam filsafat Barat, tidak ada tandingannya. Pengaruhnya
dalam filsafat Eropa, lebih besar dari pengaruh Ibnu Sina, Dia, adalah
seorang dokter dan seorang filosof. Buku kedokterannya
colliget sangat tinggi nilainya di eropa dibanding buku kedokteran
Canon karangan
Ibnu Sina.
Dalam kejadiannya, Ibnu Sina lebih terkenal di Eropa sebagai dokter
penyakit dan Ibnu Rusyd dikenal sebagai komentator Aristeteles. Pada
waktu hidupnya, golongan ahli agama menyerangnya dengan hebat dengan
menuduhnya atheis. Ibnu Rusyd sampai akhir hayatnya tetap mempertahankan
akal sebagai sendi kemajuan berfikir.
Pembahasan filsafatnya terangkum dalam berbagai karangan, terutama dalam
buku
Tahafut at-Tahafut dan
Manhij al Adillah.
Pembahasan filsafat berkisar sekitar wujud Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan
hubungan-Nya dengan alam.
Sesudah mengemukakan segi-segi kelemahan golongan-golongan Islam,
kemudian ia menerangkan tentang dalil-dalil wujud Tuhan menurut syara’
yang meyakinkan, yaitu dalil ‘in
yah (pemeliharaan) dalil ikhtir
’
(penciptaan), yang kedua-duanya terdapat dalam Al Qur’an. Ada tiga
penelitian Ibnu Rusyd, pertama ayat-ayat yang berisi peringatan terhadap
dalil ‘inayah. Kedua ayat-ayat yang berisi peringatan terhadap dalil
ikhtir
’. Ketiga ayat-ayat yang berisi pengingatan terhadap kedua
dalil tersebut bersama-sama.
Pengetahuan Tentang Tuhan
Ibnu Rusyd adalah salah seorang filosof muslim pengikut Aristoteles.
Seperti halnya Aristoteles, ia berpendapat bahwa Tuhan tidaklah
mengetahui soal-soal
juz’iyyah. Pendapat Aristoteles itu didasarkan atas suatu argumen sebagai berikut:
“Yang menggerakkan itu adalah Tuhan
Al-Muharrik yaitu
merupakan akal yang murni, bahkan merupakan akal yang
setinggi-tingginya. Oleh karena itu pengetahuan dari akal yang tertinggi
itu haruslah merupakan pengetahuan yang tertinggi pula agar ada
persesuaian antara yang mengetahui dan yang diketahui. Dan karena hal
itu pula tidak mungkin Tuhan mengetahui selain Zat-Nya sendiri. Sebab
tidak ada sesuatu zat lain yang sama luhurnya dengan zat Tuhan.
Sesuatu yang diketahui Tuhan menjadi sebab untuk adanya pengetahuan
Tuhan. Jadi, kalau Tuhan mengetahui pada hal-hal yang kecil (juz’iyah),
maka berarti pengetahuan Tuhan disebabkan oleh hal-hal yang kurang
sempurna. Dan itu tidak wajar. Maka itu sudah seharusnya kalau Tuhan
tidak mengetahui selain Zat-Nya sendiri (Poerwantana, dkk, 1993:
202-203).
Dalam
Al-Fashl Al Maqal Ibnu Rusyd mengatakan, bahwa
pengenal pencipta itu hanya mungkin dengan mempelajari alam wujud yang
diciptakan-Nya, untuk dijadikan pentunjuk bagi adanya pencipta itu.
Allah memberikan dua dalil dalam kitab-kitab-Nya, yang diringkas oleh
Ibnu Rusyd sebagai dalil in
yah dan dalil cipta atau ikhtir
. Ayat-ayat yang mewujudkan dalil adalah seperti:
Sesungguhnya
segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan
seekor lalatpun walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya (Q.S: Al-Hajj:73) dan ayat-ayat yang mewujudkan dalil in
yah
adalah seperti : Bukankah kami telah menjadikan bumi itu sebagai
hamparan dan gunung-gunung sebagai pasak. (Q.S. An-Naba : 6-7).
Dalil Inyah
Apabila alam ini kita perhatikan, maka kita akan mengetahui apa yang ada
di dalamnya sesuai sekali dengan kehidupan manusia dan makhluk-makhluk
yang lain. Persesuaian ini bukan terjadi secara kebetulan, tetapi
menunjukkan adanya penciptaan yang rapi dan teratur yang didasarkan atas
ilmu dan kebijaksanaan sebagaimana yang ditunjukkan oleh ilmu
pengetahuan modern.
Adanya siang dan malam, matahari dan bulan, empat musim, hewan
tumbuh-tumbuhan dan hujan, kesemuanya ini sesuai dengan kehidupan
manusia, seakan-akan itu dijadikan untuk manusia. Demikian pula
perhatian dan kebijaksanaan Tuhan nampak jelas dalam susunan tubuh
manusia dan hewan.
Dalil Ikhtir
Dalil Ikhtir
ini sama dengan dalil in
yah karena adanya
penciptaan nampak jelas pada hewan yang bermacam-macam, tumbuh-tumbuhan
dan bagian-bagian alam lainnya. Makhluk-makhluk tersebut tidak lahir
dengan wujud sendirinya. Gejala hidup pada beberapa mahluk hidup
berbeda-beda, misalnya tumbuh-tumbuhan hidup, maka dan berbuah. Hewan
juga hidup, tetapi mempunyai perasaan instink, dapat bergerak,
berkembang, makan dan mengeluarkan keturuanan. Makhluk manusia juga
berfikir. Jadi pada masing-masing makhluk hidup itu terdapat gejala
hidup yang berlainan dan menentukan macam pekerjaannya. Semakin tinggi
tingkat makhluk, semakin tinggi pula macam pekerjaannya. Kesemuanya
tidak terjadi secara kebetulan, sebab kalau terjadi secara kebetulan
tentulah tingkat hidup tidak berbeda-beda. Kesemuanya ini menunjukkan
adanya pencipta yang menghendaki supaya sebagai makhluk-Nya lebih tinggi
dari pada sebagainya yang lain. (Madjid, 1997:104).
Disamping kedua dalil di atas yaitu dalil
inyah dan
ikhtir’ Ibnu Rusyd mengemukakan dalail lain yaitu
dalil gerak atau
dalil penggerak pertama
yang diambil drai Aristoteles. Dalil tersebut menyatakan bahwa alam
semesta ini bergerak dengan suatu gerakan yang abadi, dan gerakan ini
mengandung adanya penggerak pertama yang tidak bergerak dan tidak
berbenda yaitu Tuhan. Akan tetapi Ibnu Rusyd tidak mengikuti pikiran
Aristoteles yang mengatakan bahwa gerakan benda-benda langit adalah
qadim karena Ibnu Rusyd mengatakan bahwa benda-benda langit beserta
gerakkannya dijadikan oleh Tuhan dari tiada dan bukan dalam zaman,
karena zaman tidak mungkin mendahului wujud pertama yang bergerak selama
zaman itu kita anggap sebagai ukuran gerakannya. Jadi gerakan
menghendaki adanya penggerak pertama atau sesuatu sebab yang
mengeluarkan dari tiada menjadi wujud.
B. FILSAFAT ALAM
Membahas masalah alam maka tidak lepas dari manusia. Dengan kemampuan
akalnya manusia mampu merubah alam sekitar dan benda-benda alam menjadi
barang yang berguna bagi kehidupannya, karena semakin maju pula ilmu dan
teknologinya, dengan begitu alam sekitar makin dapat dikontrol dan
dikendalikan oleh manusia.
Sebagai ciptaan Allah, alam berkedudukan sederajat dengan manusia, namun
Allah menundukkan alam bagi manusia, jika yang terjadi sebaliknya, maka
manusia akan terjebak pada penghambaan terhadap alam bukan menghamba
pada Allah, karena sesungguhnya manusia berkedudukkan sebagai kholifah
untuk menjadikan bumi sebagai wahana dan obyek bertauhid dalam
menegaskan keberadaan dirinya.
Menurut teori Al-Qur’an, bahwa universum pada awal kejadiannya telah
diciptakan oleh Tuhan, artinya Universum ini tidak ada dengan sendirinya
atau dengan kata lain Universum tidak dapat menciptakan dirinya dari
tidak ada menjadi ada. Sedangkan menurut teori ilmiah, adanya Universum
dimulai dengan ledakan dahsyat (
big-bang).
Para filosof materialis, dari sejak zaman Yunani kuno seperti Thales,
Anaximandros, Anaximenes sampai Demokritos(Hasbulloh Bakry, 1986, hal.
53), hingga filosof modern abad XX, (Harold H. Titus, Marilyn S. Smith
dan Richard T. Nolan, 1984, hal.293-294) menjawab tanpa ragu bahwa
Universum ini ada dengan sendirinya atau dengan kata lain Universum
menciptakan dirinya sendiri dan tidak ada menjadi ada.
Para filosof muslim mengambil sikap yang berbeda-beda tentang ke-
qodim-an alam. Sebagian mengikuti ajaran Islam lalu mempertahankan teori penciptaan (dari tidak ada) bahwa alam tidak
qodim atau
azali. Sebagian lagi menerima ide
qodim-nya
alam itu, tetapi berusaha memberikan tafsiran keqodiman itu yang tidak
berlawanan dengan prinsip kekuasaan Allah atas alam ciptaan-Nya dan
kelompok ketiga mengemukakan bahwa alam semesta ini memancar dari Allah
secara berantai atas dasar emanasi.
1.
AL-KINDI
Al-Kindi mengatakan bahwa filsafat tertinggi martabatnya adalah filsafat pertama yang membicarakan tentang
causa prima.
Sehubungan dengan ini Al-Kindi berargumen bahwa alam ini adalah baru,
ada permulaan dalam waktu, demikian pula alam ini ada akhirnya, oleh
karena itu alam ini harus ada yang menciptakan. Sebab semua yang
berubah-ubah itu adalah baru. Jadi alam adalah baru karena alam itu
berubah-ubah.
Al-Kindi adalah satu-satunya filosof yang menentang pendapat qadimnya
alam, berdasarkan teori matematik bahwa alam adalah terbatas, karena
terbatas maka alam itu bukan azali. Sesuatu yang azali tidak mempunyai
genus.
Yang dimaksud dengan azali adalah bahwa sesuatu yang maujud itu tidak
berawal dan sesuatu yang tidak berawal itu hanya Allah. Sedangkan alam
ini tidak azali, akan tetapi kadang-kadang istilah azali ini digunakan
juga untuk maujud yang tidak berawal dan tidak berakhir. Karena itu
Al-Kindi mengemukakan argumentasinya bahwa segala sesuatu dalam alam
ini, baik tubuh maupun ruang, waktu dan gerak, ada akhirnya, bila hal
itu ada akhirnya, maka ada pula awalnya.
Menurut Al-Kindi bahwa alam itu temporal dan berkomposisi yang karenanya
ia membutuhkan pencipta yang menciptakannya.
Yang Esa yang hak adalah yang pertama yang menahan segala yang diciptakan”, sehingga
seseuatu yang tidak mendapat pertahanan dan kekuatan pasti akan hancur.
(Muhammad Abd. Al Hadi, 1950: 162).
Oleh karena itu alam ada yang menciptakannya, dan Allahlah pencipta-Nya
yang memelihara semua yang diciptakan-Nya, akan tetapi pelaksanaan
penciptaan ini tidak dijelaskan oleh Al-Kindi, dan tidak ada filosof,
baik yang klasik maupun modern, yang mampu menjelaskannya dengan
sempurna. Karena hal itu merupakan persoalan supernatural dan rahasia
metasifika yang tidak mungkin diketahui.
- AL-FARABI (259 H/870M – 339 H/950 M)
Menurut Al-Farabi, wujud alam ini memancarkan dari yang pertama atas
dasar pancaran, yang dijelaskan dengan menggunakan istilah emanasi
(Al-Faidh), tetapi teori emanasi itu pasti melahirkan pantheisme, yang bertentangan dengan teori
creatio ex nihilo
(penciptaan dari tidak ada); Allah ditundukkan kepada hukum keharusan,
sehingga penciptaan alam semesta itu bukan dari kehendak-Nya, akan
tetapi karena emanasi yang terjadi menurut hukum keharusan, karena itu,
teori tersebut dibantah oleh sebagian orang Islam.
Alam menurut Al-Farabi terbagi dua sepeti halnya menurut Aristoteles,
yaitu alam langit dan alam bumi, artinya alam semesta ini merupakan bola
besar yang titik pusatnya ialah bumi serta lingkaran falak yang
mengelilinginya. Sampai ke falak bulan-alam bumi berakhir sampai di
sini, yang terletak di luar falak bulan itu sampai ke lingkaran langit
pertama adalah alam langit. Begitulah para ilmuan klasik memahami falak.
Cara pelaksanaan peciptaan alam, dari wujud pertama itu memancarkan
wujud yang kedua, dari yang kedua memancarkan wujud yang ketiga dan
seterusnya sampai ke akal sepuluh. Al-Farabi berkata “bahwa yang pertama
adalah yang wujudnya diperoleh dari dirniya sendiri. Bila wujud yang
pertama itu diperoleh dari dirinya sendiri maka sudah pasti pula segala
maujud ini diperoleh dari dia, sedangkan wujud barang yang diperoleh
dari yang pertama itu hanya sebagai pancaran (emanasi) dari wujud yang
pertama itu bagi wujud yang lain”. (Ahmad Fuad Al Ahwani, 1983/1984, :
88).
Dari masalah penciptaan alam ini Ibnu Sina dan juga Al-Farabi sebelumnya
telah mengemukakan dua dasar, yaitu :
- Keqadiman alam, yakni alam ini qadim dari segi zaman, karena alam tersebut keluar dari pencipta yang qadim.
- Emanasi (al-faidh),
bahwa Yang Esa itu esa dari segala segi, tunggal tidak mengandung
pluralitas apapun. Jadi dari-Nya hanya satu yang keluar dengan cara
melimpah dan yang satu ini keluar yang lainnya. Sehingga selesailah
wujud alam ini dengan segala tingkatnya.
Segala sesuatu pasti ada penciptanya. Demikian halnya dengan alam tak
terkecuali yang menciptakan alam adalah Allah. Menurut Al-Farabi Allah
menciptakan alam dapat dibuktikan dengan teori emanasi (pelimpahan).
Teori pelimpahan ini bermula dari zat Allah sebagai wujud yang kedua
yang berfikir tentang dirinya sendiri. Setelah melalui proses berfikir,
maka akal pertama menghasilkan akal kedua sebagai wujud yang ketiga.
kemudian akal yang kedua/wujud yang ketiga berfikir dan melahirkan
Al-Falak al A’la (langit pertama). Dari lahirnya
Al-Falakul A’la ini
maka muncullah keaneka ragaman bentuk. Kemudian akal kedua melimpahkan
akal ketiga sebagai wujud yang keempat dan melahirkan bintang-bintang.
Demikian seterusnya sampai akal kesepuluh atau wujud kesebelas yang
melahirkan planet-planet yang ada di alam ini.
Dari akal kesepuluh sebagai wujud yang kesebelas, maka tidak ada
pelimpahan lagi, yang ada adalah akal kesepuluh sebagai akal yang aktif
yang terpancar dari jiwa dan unsur pertama dari materi yang belum
mempunyai
Shurah (bentuk). Dari sinilah muncul empat unsur yaitu
api, air, tanah dan udara. Dari unsur tersebut maka muncul materi-materi
mineral seperti besi, tembaga, perak, emas dan sebagainya. Dari materi
mineral maka akan muncul tumbuh-tumbuhan, kemudian muncul jiwa
hewani (
indrawi), kemudian lebih tinggi meningkat pada manusia dimana manusia itu dianugerahi akal. Akal tersebut merupakan
akal fa’al. Dan akhirnya
akal fa’al tersebut berhubungan kembali dengan wujud yang pertama tadi. Yaitu Zat Yang Maha Pencipta.
- AL-GHAZALI (450 H/1059 M – 1111M)
Dalam membahas penciptaan alam semesta, Al-Ghazali menolak konsep para
filosof yang mengatakan bahwa dunia ini kekal dan diciptakan lewat
proses emanasi, dengan bahan dasar yang bersifat kekal dan yang secara
terus-menerus mengambil bentuknya yang berbeda.
Memang Al-Ghazali mempunyai konsepsi tentang Tuhan dan alam, akan tetapi
sangat berbeda dari konsepsi yang dimiliki oleh para filosof secara
hati-hati dan pelan-pelan beliau mempertahankan ide-idenya sambil
sedikit demi sedikit mengkritik konsep para filosof, misalnya Al-Ghazali
menyerang filsafat Yunani. Dalam hal keabadian alam, ia berpendapat
bahwa soal keabadian alam itu terserah kepada Tuhan semata-mata. Mungkin
saja alam itu terus-menerus tanpa akhir andaikata Tuhan menghendakinya,
akan tetapi suatu kepastian adanya keabadian alam disebabkan oleh
dirinya sendiri di luar
irodah Tuhan.
Para filosof mengatakn bahwa alam ini qadim, qadimnya Tuhan atas alam sama dengan qadimnya
illat atas
ma’lulnya (sebab
atas akibat) yaitu dari zat dan tingkatan, juga dari segi zaman, dengan
alasan sebagai berikut :
Bahwa Tuhan lebih dahulu daripada alam bukan dari segi zaman, melainkan
dari segi pribadi (tingkatan, zat). Kalau yang dikehendaki dengan lebih
dahulunya Tuhan atas alam ini ialah dari segi zaman, maka kelanjutannya
ialah Tuhan dan alam kedua-duanya baru atau Tuhan dan alam qadim
kedua-duanya dan mustahil salah satunya qadim sedangkan yang lain baru.
Alasan ini dibantah oleh Al-Ghazali, kalau Tuhan lebih dahulu adanya
daripada alam dan zaman berarti Tuhan sudah ada sendirian sebelum ada
alam kemudian Tuhan ada bersama-sama alam. Keadaan pertama berarti zat
Tuhan dan keadaan yang kedua berarti zat Tuhan dan zat alam dan tidak
perlu ada zat yang ketiga yaitu zaman. Sebagaimana arti zaman itu
sendiri adalah gerakan benda (alam), yang berarti bahwa sebelum ada
benda (alam) sudah barang tentu belum ada zaman
4. IBNU THUFAIL (506H/1110M)
Dalam menghadapi soal apakah dunia ini kekal, atau diciptakan dari
ketiadaan, Ibnu Thufail bersikap sebagaimana Kant. Tidak menganut salah
satu doktrin dan tidak berusahan mendamaikannya, disamping mengecam
dengan pedas penganut Aristoteles dan sikap-sikap teologis. Kekekalan
dunia melibatkan konsep eksistensi tak terbats yang tak kurang
mustahilnya dibandingkan gagasan tentang renungan tak terbatas.
Eksistensi semacam itu tidak dapat lepas dari kejadian-kejadian yang
diciptakan dan karena itu tidak dapat mendahului mereka dalam hal waktu,
dan yang tidak dapat sebelum kejadian-kejadian yang tercipta itu pasti
tercipta secara lambat laun. Begitu pula konsep
creatio ex nihilo
tidak dapat dipertahankan penelitiannya dengan seksama.
Sebagaimana, Ibn Thufail dia mengemukakan bahwa gagasan mengenai
kemaujudan sebelum ketidakmaujudan tidak dapat dipahami tanpa anggapan
bahwa waktu itu ada sebelum dunia itu ada, tapi waktu itu sendiri
merupakan suatu kejadian tak terpisahkan dari dunia, dan karena itu yang
diciptakan pasti membutuhkan pencipta. Kalau begitu mengapa sang
Pencipta menciptakan dunia saat itu bukan sebelumnya? Apakah hal itu
dikarenakan oleh suatu yang terjadi atas-Nya? Tentu saja tidak, sebab
tiada sesuatupun sebelum Dia untuk membuat sesuatu terjadi atas-Nya.
Apakah yang menyebabkan terjadinya perubahan itu? Karena itu Ibn Thufail
tidak menerima baik pandangan mengenai kekekalan maupun penciptaan
sementara dunia ini (A. Mustofa, 1997, M.M. Syarif : 182).
- IBNU RUSYD (526 H/126 M – 595 H/1198 M)
Ibnu Rusyd tidak dapat menerima teori Ibnu Sina dan Al-Farabi yakni pemahamannya teori “
dari yang Esa hanya satu yang melimpah”
bahkan ia telah menyalahkan dan mengkritik Ibnu Sina dengan sangat
tajam karena kesalahannya itu telah membukakan jalan bagi Al-Ghazali
untuk menyerang para filosof dan pemikirannya. Ibnu Rusyd menolak
penafsiran tentang teori tersebut, sedangkan ia sendiri mengakui
benarnya teori tersebut, tapi dengan tafsiran lain yang berbeda dengn
tafsiran kedua filosofi tersebut.
Ibnu Rusyd menafsirkannya sesuai dengan pendapat Aristoteles yang
didasarkan pada suatu kepastian, bahwa wujud alam ini di dasarkan pada
adanya saling kaitan anatar bagian-bagiannya. Sedangkan wujud kesatuan
itu sendiri bermacam-macam pada mahkluk, sesuai dengan tabiatnya. Dengan
adanya kesatuan yang diberikan pada alam ini dan dari itu terdapat pula
keragaman di dalamnya. (Ibnu Rusyd,: 180-181). Ibnu Rusyd juga menambah
penjelasan dengan membadingkan alam yang terdiri dari berbagai bagian
dengan kota yang terdiri dari berbagai pimpinan : Sedangkan semuanya itu
tunduk di bawah “
prinsip-prinsip pertama yang tunggal” yakni
pencipta alam semesta.
Dengan demikian teori Ibnu Rusyd mengenai alam lebih dekat kepada teori
Aristoteles. Bahwa alam semesta semesta dan benda-benda alam yang
bersifat partikulas yang terdiri dari materi dan bentuk (
matter dan
forms)
yakni dari dua prinsip yang berlawanan.
Di tempat lain Ibnu Rusyd lebih berterus terang, ketika ia membicarakan
tentang qadimnya alam, tanpa ragu-ragu lagi ia berkata bahwa benda-benda
maujud inderawi yang menjadi dan punah dalam alam semesta ini terdiri
dari materi dan bentuk. Kemudian dalam membahas apakah qadim atau baru,
alam semesta ini Ibnu Rusyd mengambil posisi tengah, yang dibagi menjadi
tiga bagian menurut tiga macam maujud :
- Maujud inderawi yang bersifat partikural
- Maujud yang bukan terdiri dari sesuatu dan tidak boleh sesuatu serta tidak didahului oleh waktu
- Maujud yang tidak dari sesuatu dan tidak didahului waktu, tetapi diwujudkan oleh sesuatu (penciptaannya) yaitu alam semesta ini.
C. FILSAFAT MANUSIA
1. AL-KINDI
Apakah sesungguhnya manusia itu? Manusia adalah hewan yang berbicara,
demikianlah Aristoteles. Dia membagi “jiwa” dalam tiga golongan dalam
makhluk hidup, di dalam wujud ini, yaitu : jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa
kehewanan, dan jiwa berakal
(An-Nafsun-qilah).
Karena manusia digolongkan hewan yang berakal maka ia merupakan jenis
lain dari golongan yang disebut hewan.
Al-Kindi berpendapat bahwa keutamaan manusia tidak lain adalah budi
pekerti manusia yang terpuji. Keutamaan-keutamaan ini kemudian dibagi
menjadi tiga bagian. Pertama adalah asas dalam jiwa, tetapi bukan asas
yang negatif, yaitu pengetahuan dan perbuatan (ilmu dan amal). Bagian
ini dibagi menjadi tiga pula, yaitu kebijaksanaan
(hikmah), keberanian
(syajaah). Dan kesucian
(‘iffah’).
Kebijaksanaan adalah keutamaan daya pikir, yang dapat berupa
kebijaksanaan teoritis dan kebijaksaan praktis. Kebijaksanaan teoritis
adalah mengetahui segala sesuatu yang bersifat universal secara hakiki:
dan kebijaksanaan praktis adalah menggunakan kenyataan-kenyataan yang
wajib dipergunakan. Keberanian merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa
yang memandang ringan kepada kematian untuk mencapai dan menolak sesuatu
yang harus ditolak. Kesucian adalah memperoleh sesuatu yang diperoleh
guna mendidik dan memelihara badan serta menahan diri dari yang tidak
perlukan untuk itu (A. Mustofa : 1997).
Hakekat jiwa adalah
jauhar tunggal berciri Illahi dagi ruhani,
tidak panjang, tidak lebar. Al-Kindi mengakui keabadian jiwa, dan ini
dikuatkan oleh pertanyaan :”Wahai insan yang jahil! Tidakkah engkau tahu
bahwa tempatmu di dalam ini hanya sebentar saja, kemudian engkau akan
pergi ke alam hakiki di mana engkau tinggal kekal selamanya.
Al-Kindi tidak dapat memecahkan persoalan tentang darimana kita datang,
apakah dari ketiadaan atau dari alam tinggi, tampaknya ia bingung oleh
dua pendapat yang saling bertentangan, Plato dan Aristoteles. Plato
berpendapat bahwa jiwa berasal dari alam idea dan karenanya ia merupakan
jauhar ruhani yang berbeda dengan jisim. Aristoteles menganggap
jiwa sebagai forma bagi jisim, dan keduanya membentuk kesatuan esential
yang tidak dapat dipisahkan.
Menurut Al-Kindi keutamaan manusia adalah budi pekerti manusiawi yang
terpuji. Keutamaan ini dibagi menjadi tiga yaitu pengetahuan dan
perbuatan (ilmu dan amal). Bagian ini dibagi lagi menjadi tiga yaitu
kebijaksanaan, keberanian dan kesucian. Kedua, keutamaan manusia tidak
terdapat dalam jiwa tetapi hasil dan buah dari ketiga macam keutamaan
tersebut. Ketiga, hasil keadaan lurus tiga macam keutamaan itu tercermin
dalam keadilan.
Keutamaan manusia terdapat dalam sifat-sifat kejiwaan dan dalam buah
yang dihasilkan oleh sifat-sifat tersebut. Jika orang hidup memenuhi
keutamaan niscaya ia hidup bahagia, maka jika ingin menikmati
kebahagiaan harus berbekal pada keutamaan.
2. AL-FARABI
Menurut Al-Farabi hakekat manusia itu adalah gabungan dari roh dan jiwa
mempunyai jasad sebagai wadahnya. Jiwa berasal dari jiwa kesepuluh dan
muncul bersama materi pertama, tetapi roh timbul dari limpahan ilmu
Tuhan bersama wujud yang pertama kali melimpah dari-Nya. Jiwa adalah
materi sedang roh adalah
form (bentuk), yang keduanya adalah
abstrak, keduanya memiliki sifat tetap/abadi sedang jasad sebagai tempat
roh dan jiwa itu akan berakhir. Sehingga menurut Al-Farabi terdapat
pekerjaan sendiri-sendiri antara jiwa dan jasad tadi.
Membahas mengenai manusia Al-Farabi tidak bisa lepas dari konsepnya
tentang akal. Akal menurut Al-Farabi ada dua kelompok : akal praktis,
yaitu yang menyimpulkan apa mesti dikerjakan, dan teoritis, yaitu yang
membantu menyempurnakan jiwa.
Sedangkan jiwa manusia menurut Al-Farabi mempunyai kekuatan-kekuatan
yaitu :
- Kekuatan gerak yang dapat dibagi :
- Kekuatan menumbuhkan
- Kekuatan kerinduan
- Kekuatan mengetahui yang mempunyai dua daya:
- Kekuatan penginderaan
- Kekuatan khayal
- Kekuatan berfikir yang mendorong untuk berfikir, baik secara praktis (Yunasril: 49).
Dalam kenyataannya manusia selain terdiri dari jiwa, roh dan badan,
manusia juga mempunyai akal untuk menyaring perintah yang datang dari
roh yang kemudian dilakukan oleh jasad, yang kesemua unsur tadi
merupakan suatu kesatuan yang utuh. Apa saja yang dilakukan oleh
manusia, baik yang tampaknya bersifat fisik ataupun mental, adalah satu
kejadian yang tunggal yaitu dari manusia. Sebab tidak pernah terjadi
pada manusia yang hidup, atas suatu kejadian yang bersifat mental saja
atau fisik saja, setiap kejadian pada diri manusia hidup pasti dirasakan
secara serentak oleh fisik dan mental.(Abdul Qodir Jailani, 1993: 156).
Tidak mungkin seseorang dapat berfikir tanpa otaknya, merasa tanpa
hatinya, melihat tanpa matanya, mendengar tanpa telinganya, berjalan
tanpa kakinya dan seterusnya.
Tentang keabadian jiwa, Al-Farabi tampak tidak konsis tentang
pendapatnya, yang disisi lain ia mengatakan bahwa ruh dan jiwa bersifat
abadi namun dalam bukunya
Commentary on the “Nicomachean Ethics”, Farabi dilaporkan mempunyai pendapat bahwa jiwa adalah
fana
dan bahwa pemikiran manusia akan sampai pada batas akhir. Hal ini
terjadi karena kita tidak dapat memahami bentuk –bentuk abstrak dengan
demikian iapun tidak dapat kekal seperti mereka. (Oliver Leaman, 1989:
135).
Menurut Al-Farabi bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang terakhir dan
yang mulia yang lahir atas bumi ini. Ia terdiri dari dua unsur: Jazad
dan jiwa. Jazad berasal dari alam dan jiwa berasal dari alam perintah.
Sebagaimana ungkapan dia dalam bahasa arab yang artinya sebagai berikut:
Anda terdiri dari dua unsur, yang satu mempuntai bentuk, berupa,
berkualitas, berkadar, bergerak, diam, berjazad dan berbagian. Yang
kedua berbeda dengan yang pertama pada sifat-sifat tersebut, tidak
menyamainya pada hakekat dzat, maka anda diciptakan dari alam khak dan
alam amr, karena roh anda dari perintah Tuhan dan badan anda dari
ciptaan Tuhan anda. (Daudy, : 40-41).
Pada umumnya pemikiran Al-Farabi tentang jiwa sangat dipengaruhi oleh
pemikiran para filosof Yunani, terutama Aristoteles dan Plato. Manusia
dalam konsepsi Aristoteles adalah bagian dari alam ini yang terdiri dari
dua unsur: materi dan forma. Materi adalah jasad dan forma adalah jiwa,
begitu pula jasad tidak dapat berpisah dari jiwa, yakni kedua unsur ini
membentuk satu kesatuan esensial. Atas dasar ini, Aristoteles
mengatakan bahwa
“Jiwa adalah kesempurnaan pertama bagi benda alami yang organis lagi mempunyai hidup dalam bentuk potensial”. Perkataan
Aristoteles tersebut secara harfiah diterima oleh Al-Farabi. Namun dia
menafsirkan forma bagi jasad dalam arti jauhar (substansial) yang
berdiri sendiri dan berasal dari akal kesepuluh (
aql fa’al), demikian hubungan jiwa dengan jasad tidak esensial tapi aksidental, sehingga jiwa tidak akan
fana
sebab kematian jasad. Dalam hal ini Al-Farabi menyukai konsep Plato
yang menganut paham keabadian jiwa disamping kesesuaiannya dengan ajaran
Islam. Namun Al-Farabi menolak pendapat Plato yang mengatakan adanya
jiwa sebelum adanya badan dan teorinya tentang ingkarnasi. Menurut
Al-Farabi “
Jiwa berasal dari akal aktif yang telah memberikan forma kepada jasad tatkala jasad telah siap menerimanya dalam kandungan.” Nafs
Nathiqoh merupakan hakekat manusia yang sebenarnya. (Daudy, : 40-41).
Manusia diciptakan oleh Allah dengan segala keunggulan dan keutamaannya
dibanding dengan mahkluk yang lain. Menurut Al-Farabi manusia terdiri
dari dua hal yang abstrak. Dua hal itu adalah jiwa dan roh. Jiwa adalah
materinya, sedangkan roh adalah pemberi petunjuk. (Yunasril Ali, : 49).
Kedua hal tersebutlah yang disebut dengan hakekat manusia. Jiwa dan roh
menempati satu wadah yang dinamakan jasad.
Menurut Al-Farabi manusia mempunyai kekuatan-kekuatan yaitu:
- Kekuatan gerak
- Kekuatan mengetahui
- Kekuatan berfikir
Dari kekuatan berfikir itulah muncul dua hal yaitu akal praktis dan
teoritis. Akal praktis menyangkut teknis dan ketrampilan. Sedangkan akal
teoritis menurut Al-Farabi dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
- Akal potensial
- Akal aktual
- Akal intelek
Ketiga akal tersebut saling berkaitan dan bersambung. Dan ketiganya
dapat berkembang mulai manusia lahir sampai manusia itu mati.
Demikianlah pemikiran filsafat Al-Farabi tentang manusia., Disamping hal
tersebut, pemikiran filsafat Al-Farabi juga mencakup tentang filsafat
kenabian yang konon kabarnya untuk menentang filsafat Ar-Razi yang
berkeyakinan bahwa tidak ada nabi dalam sejarah manusia. Juga pemikiran
Al-Farabi tentang
al-Madinah al-Fadhilah atau negara utama yang
bertujuan untuk mencapai kemakmuran dan ketentraman dalam satu
pemerintahan seperti dalam bukunya yang berjudul
Ara’u ahli al-madinah al-fadhilah. Dalam
bukunya ini Al-Farabi berpendapat bahwa untuk mengurus negara yang
utama itu diperlukan seorang pemimpin yang cakap, sempurna moral,
intelektual, cinta terhadap kebenaran, keadilan dan kesejahteraan,
berani mengambil keputusan yang tepat, tidak tamak dengan harta dan
mendapat limpahan ilmu dari Tuhan. Dengan begitu pemimpin negara utama
haruslah seorang yang filosof, karena hanya filosoflah yang mampu
berhubungan langsung dengan akal yang kesepuluh dalam mencapai segala
ilmunya.
3. AL-GHAZALI
Adapun pandangan Al-Ghazali tentang manusia sebagi berikut:
- Wujud manusia terdiri dari jiwa dan badan, tetapi esensinya adalah jiwa
- Jiwa adalah substansi yang berdiri sendiri dan mempunyai
sifat-sifat dasar yang berbeda dengan badan. Jiwa berasal dari dunia
metafisik, bersifat metafisik, bersifat immateri, tidak berbentuk
komposisi, mengandung daya dan bergerak dan kekal. Sedangkan badan
adalah substansi yang berasal dari dunia fisik, bersifat materi,
berbentuk komposisi, tidak mengandung daya pada dirinya.
- Daya-daya yang dimiliki manusia pada hakikatnya tidak efektif.
Daya-daya itu terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Ada manusia tidak
dapat mengetahui yang baik dan yang buruk secara praktis yang dapat
diwujudkannya dalam perbuatan-perbuatannya.
- Tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan akhirat yaitu mengenal Tuhan sepenuhnya.
- Kesempurnaan diri di dunia dilakukan dengan menempatkan daya-daya yang rendah yang dimiliki oleh manusia, al-mutakhayilat, al-syahwat dan al-ghadlab,
di bawah daya tertinggi di dalam jiwa, mewujudkan akhlak yang baik dan
melaksanakan ibadat-ibadat serta mengingat Allah. (Muh Yasir Nasution:
156)
Al-Ghazali yang hidup pada abad pertengahan tidak terlepas dari
kecenderungan umum zamannya dalam memandang manusia. Di dalam buku-buku
filsafatnya ia mengatakan bahwa manusia mempunyai identitas yang
berubah-ubah, yaitu al-nafs adalah substansi yang berdiri sendiri, tidak
bertempat dan merupakan tempat pengetahuan. Intelektuan berasal dari
alam malakut atau alam amr.
Untuk membuktikan adanya substansi immaterial yang disebut al-nafs
Al-Ghazali mengemukakan beberapa argumen. Persoalan kenabian, gangguan
perbuatan manusia dan tentang berita akhirat tidak ada gunanya bila
al-nafs tidak ada. Sebab seluruh ajaran-ajaran agama hanya ditujukan
kepada yang dapat memahaminya. Yang mempunyai kemampuan memahami
bukanlah fisik manusia, sebab bila fisik manusia mempunyai kemampuan
memahami, obyek fisik lainnya juga mempunyai kemampuan memahami.
Kenyataannya tidak demikian, argumen yang bersifat keagamaan ini,
bagaimanapun juga tidak dapat meyakinkan orang ragu terhadap kenabian
dan hari akhir. Karena itu mempercayai argumen ini orang harus terlebih
dahulu harus percaya pada kenabian dan hari akhir.
Argumen kesadaran langsung dikemukakan oleh Al-Ghazali mengandaikan
seorang manusia menghentikan seluruh aktifitas fisiknya. Sehingga ia
berada dalam keadaan tenang hampa tanpa aktivitas. Ketika ia
menghilangkan segala aktifitasnya, ada sesuatu yang tidak ada di dalam
dirinya yaitu kesadaran akan dirinya. Ia sadar bahwa ia ada pusat
kesadaran itu yang disebut
al-insyaniyah. Ketika yang disadari
bukan fisik dan yang sadar itu bukan fisik. Kesadaran ini melalui alat,
tetapi bersifat langsung, oleh karena itu subyek yang sadar itu jelas,
bukan fisik dan bukan fungsi fisik, substansinya yang berbeda dengan
fisik (Nasir, 1988: .8).
Jiwa bagi Al-Ghazali adalah suatu zat dan bukan suatu keadaan atau
aksiden, sehingga ia ada pada dirinya sendiri. Jasadlah yang adanya
bergantung pada jiwa dan bukan sebaliknya. Jiwa berada di alam spiritual
sedangkan jasad di alam materi. Jiwa dan malaikat sama asal dan
sifatnya yaitu ilahiah. (Hasyimsyah Nasution, 1999)
Jiwa yang berasal dari ilahi mempunyai potensi kodrati yaitu
kecenderungannya kepada kebaikan dan keenggannya kepada kekejian. Pada
waktu lahir ia merupakan zat yang bersih dan murni dengan esensi
malaikat (alam malakut) sedangkan jazad berasal dari alam khalaq. Karena
itu kecenderungan jiwa kepada kejahatan (yang timbul setelah lahirnya
nafsu) bertentangan dengan tabiat aslinya.
Al-Ghazali juga berpendapat bahwa wujud manusi dari jiwa (
al-ruh)
dan badan, tetapi esensinya adalah jiwa. Status jiwa dan badan dalam
keberadaan manusia adalah sama, dalam arti yang satu tidak bisa
diasalkan kepada yang lain. Keduanya berhubungan secara aksidental, pada
saatnya hubungan antara keduanya terputus.
Jiwa adalah substansi yang berdiri sendiri dan mempunyai sifat-sifat
dasar yang berbeda dengan badan. Al-Ghazali yang menyebutkan hubungan
jasad dan jiwa dari segi pandangan moral adalah setiap jiwa diberi
jasad, sehingga dengan bantuannya jiwa bisa mendapatkan bekal bagi hidup
kekalnya. Jiwa merupakan inti hakikat manusia dan jasad adalah alat
untuk mencari bekal. Pada hakikatnya hubungan keduanya sama dengan
hubungan interaksionisme. Meskipun wujud keduanya berbeda namun keduanya
saling mempengaruhi.Oleh sebab itu, perbuatan akan menimbulkan pengaruh
pada jiwa. Karena interaksi inilah jiwa itu diturunkan ke alam benda
atau duniawi agar ia dapat menyempurnakan dirinya melalui amal
perbuatan.
Dalam hal ini Al-Ghazali membagi umat manusia kedalam tiga golongan:
- Kaum awam (al-‘Awwam) yang cara berfikirnya sederhana sekali
- Kaum pilihan (al-Khawash) yang akalnya tajam dan berfikir secara mendalam
- Kaum penengkar (al-jidal)
Kaum awam dengan daya akalnya yang sederhana sekali tidak dapat menagkap
hakekat-hakekat. Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan menurut.
(Harun Nasution, 1973:39)
Kaum awam dengan daya akalnya yang sederhana tidak dapat menagkap
hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan menurut.
Golongan ini harus dihadapi dengan sikap memberi nasihat dan petunjuk.
Kaum pilihan yang daya akalnya kuat dan mendalam harus dihadapi dengan
sikap menjelaskan hikmah-hikmah, sedangkan kaum penengkar dengan sikap
mematahkan argumen-argumen. (Harusn Nasution, 1973:39)
4. IBNU THUFAIL
Ibnu Thufail membagi perkembangan alam pikiran manusia menuju hakekat kebenaran itu kedalam enam bagian.
Pertama : Dengan cara ilmu
Hay bin Yaqdhan, yaitu
dengan kekuatan akalnya sendiri memperhatikan perkembangan alam makhluk
ini bahwa tiap-tiap kejadian mesti ada yang menyebabkannya.
Kedua: Dengan cara pemikiran
Hay bin Yaqdhan, terhadap teraturnya peredaran benda-benda besar dilangit seperti matahari, bulan dan bintang-bintang.
Ketiga: Dengan demikian bahwa puncak kebahagiaan seseorang itu ialah mempersaksikan adanya
Wajibul Wujud Yang Maha Esa.
Keempat: Dengan memikirkan bahwa manusia ini adalah sebagian saja
dari makhluk hewani, tetapi dijadikan Tuhan untuk
kepentingan-kepentingan yang lebih tinggi dan utama dari pada hewan.
Kelima, Dengan memikirkan bahwa kebahagiaan manusia dan keselamatannya dari kebinasaan hanyalah terdapat pada
pengekalan penyaksiannya terhadap Tuhan
Wajibul Wujud.
Keenam: Mengakui bahwa manusia dan alam makhluk ini fana dan
semua kembali kepada Tuhan. (Poerwantana dkk, 1999)
Di dalam buku “Hayy bin Yaqdhan”, Ibnu Tufail berusaha menjelaskan bahwa
potensi manusia semata bisa untuk berhubungan dengan Allah. Karena Ibnu
Tufail menggambarkan seorang yang tumbuh terisolir dari manusi dan
tidak terpengaruh oleh masyarakat, tetapi walaupun demikian, dengan
logika kesediriannya, ia bisa memersepsi realitas-realitas alam dan
mengklasifikasikannya sampai pada realitas yang dari padanya memancarkan
cahaya dan pengetahuan. Orang itu adalah
Hayy bin Yaqdhan. Ia
beranggapan bahwa dibalik alam terdapat sebab-sebab yang tersembunyi
yang mengelolanya dan terdapat bentuk-bentuk yang membentuknya. Dan
bentuk-bentuk ini timbul dari realitas yang kodim yang oleh umumnya para
filosof Islam disebut akal fa’al. Hayy bin Yaqdhan selalu membahas dan
menganalisa sampai ia bisa mengetahui bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan
manusia itu kembali kepada kedekatan atau kejauhannya dari Tuhannya.
Dan sarana untuk mendekat dan menarik ke alam cahaya dan malaikat,
sebenarnya, adalah penalaran dan analisa. (Ibrahim, : 55).
5. IBNU RUSYD
Dalam membahas tentang manusia
Ibnu Rusyd dipengaruhi
Aristoteles. Sebagai bagian dari alam, manusia terdiri dari dua unsur
materi dan forma. Jasad adalah materi dan jiwa adalah forma seperti
halnya Aristoteles, Ibnu Rusyd membuat definisi jiwa sebagai
“kesempurnaan awal bagi jisim alami yang organis”
Definisi tersebut digunakan untuk membedakan dengan kesempurnaan lain
yang merupakan pelengkap darinya, seperti yang terdapat dalam berbagai
perbuatan. Sedangkan yang disebut organis untuk menunjukkan kepada jisim
yang terdiri dari anggota-anggota.
Dalam hal pembahasan manusia, Ibnu Rusyd lebih menekankan pada jiwa dari
pada jasad manusia, ia membagi jiwa dalam lima bagian, yaitu:
- Jiwa Nabati (An-Nafs an-Nabatiyyah)
- Jiwa Perasa (An-Nafs al-Hissiyyah)
- Jiwa Hayal ( An-Nafs al-Mutakhayyilah)
- Jiwa Berfikir (An-Nafs an-Nathiqah)
- Jiwa Kecenderungan (An-Nafs an-Nuzu’iyyah) (Daudy, : 170-171)
Demikian penjelasan dan pembahasan jiwa menurut Ibnu Rusyd ,
pemikiran-pemikirannya banyak dipenhgaruhi oleh teori
Aristoteles.
_