SENANDUNG DI TIANG GANTUNGAN
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Kisah-kisah Kontroversi Sufi al-Hallaj
Tatkala mereka sampai ke tiang gantungan di Bab at-Taq, Hallaj mencium panggung itu sebelum naik ke atasnya. “Bagaimana perasaanmu saat ini?” mereka mengompori Hallaj. “Kenaikan bagi manusia-manusia sejati adalah berada di puncak tiang gantungan,” jawab Hallaj.
Saat itu, Hallaj mengenakan cawat dan mantel. Dia menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan dan berdoa kepada Allah swt. “Yang diketahui-Nya tak diketahui oleh siapa pun juga,” kata Hallaj dan naik ke tiang gantungan.
Syibli datang dan berdiri di depan Hallaj. “Apakah sufisme itu, Hallaj?”
“Bagian terendah dari sufisme adalah hal yang dapat kau saksikan ini,” jawab Hallaj.
“Lantas, bagian yang lebih tinggi?” tanya Syibli.
“Bagian itu tidak akan terjangkau olehmu,” jawab Hallaj.
Kemudian semua penonton mulai melempari Hallaj dengan batu. Agar sesuai dengan perbuatan orang halai-balai, Syibli melontarkan sekepal tanah dan Hallaj mengaduh. “Engkau tidak mengeluh ketika dilempari batu,” tanya orang. “Namun mengaduh karena kepalan tanah?” Hallaj menjawab, “Karena orang-orang yang merajamku dengan batu tidak menyadari perbuatan mereka. Mereka dapat dimaafkan. Akan tetapi, tanah yang dilemparkan ke tubuhku itu sungguh menyakitkan, karena ia tahu bahwa seharusnya ia tidak melakukan hal ihwal itu.”
Lalu, kedua tangan Hallaj dipotong, tetapi dia tertawa dan berkata, “Memotong tangan seseorang yang terbelenggu adalah mudah”. Menurut Hallaj, seorang manusia sejati adalah orang yang memotong tangan yang memindahkan mahkota aspirasi dari dahi Singgasana. Kemudian kedua kakinya dipotong. Hallaj tersenyum.
“Dengan kedua kaki ini aku berjalan di muka bumi. Aku masih mempunyai dua kaki lain, dua kaki yang saat ini sedang berjalan menuju surga. Jika kalian sanggup, putuskanlah kedua kakiku yang itu!” tantangnya.
Lantas kedua tangannya yang buntung disapukannya ke muka, sehingga wajah dan lengannya basah oleh darah. ”Mengapa engkau membasahi lenganmu dengan darah?” tanya orang-orang. “Aku sedang berwudhu. Jika seseorang hendak sembahyang sunah dua rakaat karena cinta kepada Allah, berwudhunya tidak cukup sempurna jika tidak menggunakan darah,” yakin Hallaj.
Kemudian kedua bola matanya dicungkil. Kehebohan terjadi. Sebagian menangis dan sebagian lagi terus melemparinya dengan batu. Kemudian, telinga dan hidungnya dipotong. Saat lidahnya akan dipotong, muncullah seorang perempuan berida yang sedang membawa kendi. Melihat keadaan Hallaj, si kamitua berseru, “Pukullah keras-keras. Apakah hak si pencukur domba ini berbicara mengenai Allah?”
Kata-kata terakhir yang diucapkan Hallaj ialah, “Cinta kepada Yang Maha Esa adalah melebur ke dalam Yang Esa.” Selanjutnya dia menyenandungkan ayat “Orang-orang yang tidak memercayai-Nya ingin segera mendapatkan-Nya, tetapi orang-orang yang memercayai-Nya takut kepada-Nya, sedang mereka mengetahui kebenaran-Nya”. Itulah ucapannya yang pamungkas.
Arkian, mereka memotong lidahnya. Tatkala tiba saatnya sembahyang, barulah mereka memenggal kepala al-Hallaj. Setelah disembelih, Hallaj masih nampak tersenyum. Sesaat kemudian dia pun mati.
Sang pengembara
Abu Mughits al-Husain bin Mansur al-Hallaj adalah tokoh paling kontroversial di dalam sejarah mistisisme Islam. Lahir kira-kira pada 244 Hijriah (858 M) di dekat kota al-Baiza, provinsi Fars. Hallaj suka mengembara sangat jauh.
Khotbah-khotbahnya yang berani mengenai bersatunya manusia dengan Allah membuatnya dijatuhi hukuman kurungan, dengan tudungan telah menyebarkan ideologi inkarnasionisme. Hallaj dihukum mati dengan bengis yang dilaksanakan pada 29 Dzulkaidah 309 H atau 28 Maret 913 M.
Hallaj menulis beberapa buku dan banyak syair. Dia menjadi legenda muslim sebagai prototipe dari kekasih-Allah yang “mabuk”.
Penyair sufi, Fariduddin Attar mengisahkan dengan cerkas dan puitik kisah hidup al-Hallaj dalam kitabnya, Tadzkiratul Aulia (2018: 314-24). Menurut Attar, Husain al-Mansur, yang dijuluki al-Hallaj –berarti Pemangkas Buku Domba– awalnya pergi ke Tustar, tempat dia mengabdi kepada Sahal bin Abdullah selama dua tahun. Setelah itu dia pindah ke Bagdad. Al-Hallaj memulai pengembaraannya ketika berusia delapan belas tahun.
Setelah itu, dia pergi ke Bashrah dan mengikuti Amr bin Utsman selama delapan belas bulan. Yaqub bin Aqtha menikahkan putrinya dengan Hallaj, dan pasca pernikahan itulah Amr bin Utsman menunjukkan ketidaksenangannya kepada Hallaj. Lantas, Hallaj meninggalkan kota Bashrah dan pergi ke Bagdad guna mengunjungi Junaid. Junaid menyuruh Hallaj bertirakat.
Setelah beberapa lama menjadi murid Junaid, dia pergi ke Hijaz. Dia tinggal di Mekkah selama setahun, lalu kembali lagi ke Bagdad. Bersama kelompok sufi, dia mendengarkan ceramah-ceramah Junaid dan mengajukan beberapa pertanyaan yang tidak dijawab oleh Junaid.
“Akan segera tiba waktunya,” ujar Junaid kepada Hallaj, “ketika engkau membasahi sepotong kayu dengan darah.” “Sewaktu aku membasahi sepotong kayu itu, engkau akan mengenakan pakaian golongan formalis,” balas Hallaj.
Kata-kata mereka kelak terbukti kebenaran. Sewaktu para cendekiawan tersohor bersepakat bahwa al-Hallaj harus dihukum, Junaid sedang mengenakan jubah sufi dan karena itu dia tidak mau memberikan tanda tangannya. Khalifah menyatakan, bahwa mereka perlu mendapatkan tanda tangan Junaid. Lantas Junaid pun mengenakan serban dan jubah kaum ilmuwan. Kemudian dia kembali ke madrasah dan menandatangani surat keputusan itu.
Hallaj jengkel terhadap Junaid yang tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaanya. Dia pun pergi menuju Tustar tanpa pamit. Di sana dia tinggal selama satu tahun dan mendapat sambutan luas. Karena Hallaj tidak peduli terhadap doktrin nan populer kala itu, para teolog sangat membencinya.
Sementara itu, Amar bin Utsman menyurati orang-orang Khuzistan dan menjelek-jelekkan nama Hallaj. Namun Hallaj sendiri sudah bosan di tempat itu. Dia melepaskan pakaian sufinya dan mencebur ke dalam pergaulan masyarakat yang mementingkan duniawi. Akan tetapi, pergaulan ini tak memengaruhi dirinya.
Selama lima tahun Hallaj menghilang. Sebagian dari periode itu dilewatkannya di Khurasan dan Transoxiana, dan sebagian lagi di Sistan. Lalu dia kembali ke Ahwaz.
Setelah itu, Hallaj mengenakan jubah darwis yang lusuh dan pergi ke tanah suci bersama-sama orang-orang yang berpakaian seperti dirinya. Di Mekkah, Yaqub an-Nahrajuri menuduhnya sebagai tukang sihir. Akhirnya Hallaj kembali ke Basrah dan setelah itu ke Ahwaz.
Kemudian dia berangkat ke India, Transoxiana, Cina untuk menyeru warganya ke jalan Allah, dan memberikan pengajaran kepada mereka.
Setelah dia meninggalkan negeri-negeri itu, banyak orang dari sana berkirim surat kepadanya. Masyarakat India menyebut Hallaj sebagai Abul Mughits, orang-orang Cina menjulukinya Abul Muin, dan rakyat Khurasan menamainya Abul Muhr, orang-orang Fars menahbiskannya Abu Abdullah, dan orang-orang Khuzistan menggelari Hallaj Yang Mengetahui Rahasia-rahasia.
Di kota Bagdad, dia dijuluki sebagai Mustaslim dan di kota Bashrah sebagai Mukhabar.
Akulah sang Haq
Setelah itu, banyak kisah tentang Hallaj beredar. Tatkala Hallaj pulang dari Mekkah sesudah bermukin di sana selama dua tahun, dia mengalami banyak perubahan dan menyerukan kebenaran dengan kata-kata yang membingungkan siapa pun.
Syahdan, Hallaj pernah diusir lebih dari lima puluh kota. Mengenai diri Hallaj, orang-orang terpecah dua. Antara yang menentang dan mendukung Hallaj sama banyaknya. Dan mereka telah menyaksikan keajaiban-keajaiban yang dilakukan oleh Hallaj.
Namun fitnah menyerangnya dan pelbagai ucapannya disampaikan kepada khalifah. Akhirnya semua pihak sependapat, bahwa Hallaj harus dihukum mati karena menyatakan Akulah sang Haq.
Kelompok teolog yang menentang Hallaj menyampaikan ucapan-ucapannya diputarbalikkan kepada Mu’tashim. Mereka berhasil membuat wazir Ali bin Isa menentang Hallaj. Khalifah memberi perintah agar Hallaj dijebloskan ke penjara.
Setahun lamanya Hallaj mendekam di bui, orang tetap mengunjungi dan meminta nasihat darinya. Kemudian keluarlah larangan untuk mengunjungi Hallaj di dalam penjara. Arkian, dia digiring ke tiang gantungan dan dieksekusi.
Kegemparan terjadi. Hallaj membawa bola takdir ke bata padang kepasrahan. Dan dari setiap anggota tubuhnya, terdengar kata-kata Akulah yang Haq. Mayat Hallaj pun keesokan harinya dibakar. Dari abu pembakaran mayatnya terdengar seruan, Akulah yang Haq. Bahkan ketika bagian-bagian tubuhnya dipotong, setiap tetes darahnya membentuk perkataan Allah swt. Mereka kebingungan dan membuang abunya ke sungai Tigris. Ketika abu-abunya mengambang di permukaan air, merek terus berseru, Akulah yang Haq.
Saat Hallaj masih hidup, dia pernah berkata, “Apabila mereka membuang abu pembakaran mayatku ke sungai Tigris, Bagdad akan terancam banjir bah. Taruhlah jubahku di tepi sungai, agar Bagdad tidak binasa.”
Seorang pelayannya, setelah menyaksikan apa yang terjadi, segera mengambil jubah tuannya dan menaruhnya di pinggir sungai Tigris. Air sungai kembali menyurut dan abu itu tidak lagi bergema. Lantas, orang-orang mengumpulkan abu-abu Hallaj dan menguburkannya.